Suku Kluet

Salah satu wilayah di provinsi Aceh, tepatnya di kabupaten Aceh Selatan terdapat suatu komunitas adat, yang telah lama berdiam di wilayah tersebut. Mereka adalah komunitas yang berbeda dengan masyarakat Aceh pada umumnya. Mereka adalah suatu komunitas yang menyebut diri mereka sebagai orang Kluet atau suku Kluet. Istilah Kluet kadang disebut sebagai Keluwat atau Kluwat.

Kluet Selatan (kluetmedia)
Daerah Kluet ini dipisahkan oleh sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Wilayah kediaman orang Kluet ini terletak 30 km dari kota Tapaktuan atau 500 km dari Banda Aceh.

Di wilayah Aceh Selatan ini suku Kluet hidup berdampingan dengan 2 suku lain, seperti suku Aceh dan Aneuk Jamee. Suku Kluet sendiri hidup tersebar di wilayah Kluet Utara, Kluet Tengah, Kluet Selatan dan Kluet Timur.

Secara umum, orang Kluet sangat erat terkait kekerabatan dengan suku Alas dan suku Singkil, karena terdapat beberapa kemiripan dalam adat-budaya serta bahasa yang banyak dipengaruhi oleh kedua suku tersebut.

Masyarakat suku Kluet berbicara dalam bahasa sendiri, yaitu bahasa Kluet. Bahasa Kluet termasuk dalam kelompok rumpun bahasa Batak. Bahasa Kluet sendiri memiliki 3 dialek yang terus berkembang hingga saat ini, yaitu:
  • dialek Menggamat
  • dialek Payadapur, dan
  • dialek Krueng Kluet (Lawe Sawah).

Menurut catatan (Bukhari RA, dkk, 2008:11), sejarah Kluet dikatakan erat kaitannya dengan Kerajaan Laut Bangko yang merupakan sebuah danau kecil yang berada di tengah hutan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) sebelah barat, berbatasan dengan kecamatan Bakongan dan kecamatan Kluet Timur saat ini.
Menurut cerita bahwa Kerajaan Laut Bangko pernah jaya di masa lalu. Raja yang terakhir bernama Malinda dengan permaisuri Rindi. Setelah rajanya meninggal, bencana banjir menghantam kerajaan ini. Penduduknya melarikan diri mencari daratan, sebagian melarikan diri ke Tanah Batak, lainnya ke wilayah Tanah Singkil, dan sisanya tetap bertahan dengan mencari tempat yang lebih tinggi. Dari hal inilah dikatakan bahwa terjadi kemiripan antara bahasa Kluet dengan bahasa-bahasa Batak lainnya, seperti Karo, Pakpak, Toba, Alas dan Singkil.

Menurut cerita lainnya, diceritakan ketika terjadi perang besar di Aceh, suatu komunitas di pedalaman kena imbasnya dan melarikan diri ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di selatan Aceh dan menjadi komunitas tersendiri di kaki gunung Kalambaloh, sedangkan yang lainnya masuk lebih ke pedalaman dan membuat komunitas tersendiri pula sehingga terjadi percampuran bahasa dengan beberapa wilayah lainnya seperti Singkil dan Alas serta beberapa suku di Sumatra Utara.

Sedangkan menurut cerita rakyat suku Alas, bahwa antara suku Alas dan suku Kluet masih berkerabat dekat, dilihat dari cerita asal usul yang tersimpan dalam kedua kelompok masyarakat ini, bahwa orang Kluet berasal dari Raja Enggang yang merupakan adik dari Raja Patuha di Dairi dan abang dari Raja Lambing yang merupakan nenek moyang marga Selian dan orang Alas di Tanoh Alas dan marga Sebayang di Taneh Karo. Sedangkan Raja Enggang yang merupakan nenek moyang orang Kluet, keturunan pertama di Tanah Kluet adalah marga Pinim. 

Wilayah Kluet saat ini telah diakui sebagai suatu kesatuan dalam kabupaten Aceh Selatan. Mulanya Kluet hanya 2 wilayah saja, yakni Kluet Utara dan Kluet Selatan. Wilayah Kluet Utara beribukota Kotafajar dan Kluet Selatan beribukota Kandang.
Sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun dibagi menjadi 5 wilayah:
  • Kluet Utara, beribukota Kotafajar,
  • Kluet Tengah, beribukota Menggamat,
  • Kluet Timur, beribukota Duriankawan,
  • Kluet Selatan, beribukota Kandang,
  • Kluet Barat, beribukota Pasieraja.

Pemekaran wilayah Kluet ternyata menimbulkan konflik baru di wilayah Kluet. Di Kluet Barat yang beribukota Pasieraja dihuni oleh masyarakat Pasieraja yang tidak berbahasa Kluet, orang-orang di sini tidak mengakui wilayahnya sebagai wilayah Kluet. Bahkan, sempat tersebar isu, jika dipaksakan wilayah Pasieraja dengan nama Kluet Barat, masyarakat di sini akan minta wilayahnya dimasukkan ke kecamatan Tapaktuan saja. Akibatnya plang nama kantor camat wilayah ini dengan jelas ditulis “Camat Kecamatan Pasieraja”, bukan “Camat Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota Pasieraja”.
Rupanya hal ini membuat perpecahan kecil di antara masyarakat Kluet, walaupun tidak sampai menimbulkan konflik berdarah.

Terdapatnya 3 suku yang berbeda (Kluet, Aceh dan Aneuk Jamee) di wilayah Kluet sepertinya menjadi penyebab terjadi perpecahan di antara masyarakat Kluet. Kelompok masyarakat yang berbahasa Aceh tidak mau disebut sebagai orang Kluet. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang berbahasa Kluet juga tidak mau disebut sebagai bagian dari Aceh.

Masyarakat Kluet memiliki sejumlah adat dan budaya yang tetap terpelihara terus secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam adat perkawinan,sunat rasul, adat kematian, pengobatan, dan sebagainya.
Kemudian untuk sastra lisan pun masih hidup dan berkembang dalam komunitas ini, misalnya tradisi bersyair pada saat pesta perkawinan.
Terdapat 2 syair yang populer dalam kearifan masyarakat suku Kluet, yaitu:
  • Syair Meubobo, biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Syair mebobo juga kerap digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan ini masih hidup dalam masyarakat Kluet hingga sekarang. Hanya saja, tidak semua orang dapat memainkan kedua syair tersebut. Butuh kemahiran tersendiri untuk melantunkan.
  • Syair Meukato , merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki-laki dan rombongan mempelai perempuan.
  • Selain itu tradisi peribahasa dalam bahasa Kluet disampaikan dengan dialek masing-masing daerah.

Menurut beberapa literatur, masyarakat suku Kluet juga memiliki marga. Hanya saja marga dalam masyarakat suku Kluet tidak diutamakan untuk ditampilkan seperti masyarakat rumpun Batak lainnya. Tapi untuk sebagian masyarakat Kluet ada juga yang menampilkan marga di belakang namanya. Beberapa marga Kluet mirip dengan marga suku Alas, Singkil, Karo dan Pakpak.
Beberapa dalam marga suku Kluet, adalah:
  • Selian
  • Kombih
  • Pinim
  • dll.

Masyarakat Kluet mayoritas adalah beragama Islam yang taat. Beberapa tradisi dan budaya banyak dipengaruhi unsur Islami. Agama Islam berkembang di masyarakat Kluet sejak beberapa abad yang lalu, seiring dengan masuknya agama Islam di wilayah Aceh.

Di tengah masyarakat suku Kluet juga tersimpan mitos-mitos makhlus gaib (halus), salah satunya seperti mitos meurampot, yang masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat suku Kluet.

Orang Kluet pada umumnya hidup pada bidang pertanian, seperti berkebun dan berladang. Mereka hidup berkembang dengan cara exogamus (kawin dengan marga lain). Perkawinan diatur oleh kedua keluarga calon mempelai. Pertunangan biasanya memerlukan waktu sekitar 3 tahun.

Pemerintahan desa dibagi menurut kelompok keluarga sesuai dengan mergo (marga), dan bagian pemerintahan yang lebih kecil (rodjo). Sekelompok orang satu keturunan sara rodjo (satu ayah) dan sara ino (satu ibu).

Masyarakat suku Alas tidak mengenal aksara tradisional. Seluruh bentuk nasihat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial diturunkan secara turun temurun melalui tarombo dan cerita lisan.

sumber:
pic:

Share/Bookmark

1 comment:

  1. Gk tau malu ya. Gk cukup karo, pakpak, simalungun, mandailing yg di batakan. Aceh pun mau di batakan sekarang😂😂. Kami karo bukan batak bro. Adat dan budaya kami gk sama sama batak.
    Batak gk tau malu ya mengklaim suku orang lain.

    ReplyDelete