Suku Batak Alas

orang Alas
Suku Batak Alas atau suku Alas, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di kabupaten Aceh Tenggara.  Suku Alas walaupun berada di provinsi Nanggroe Aceh, tapi secara sejarah mereka lebih dekat dengan suku Gayo dan suku Singkil dan suku-suku Batak dari wilayah provinsi Sumatra Utara. Orang Batak Alas menyebut wilayah adat pemukiman mereka sebagai Tanah Alas. Sedangkan orang Alas menyebut diri mereka sebagai Kalak Alas atau Ukhang Alas.

Menurut cerita dari Tanah Gayo, suku Alas merupakan pecahan dari suku Gayo, karena nenek moyang orang Alas dikatakan berasal dari kabupaten Gayo Lues. Oleh karena itu, orang Gayo sering menyebut suku Alas ini sebagai suku Gayo-Alas. Menurut dugaan kata "alas" berasal dari bahasa Gayo yang berarti "tikar". Pemberian nama ini dikaitkan dengan keadaan wilayah pemukiman orang Alas yang terbentang luas seperti tikar terkembang di sela-sela Bukit Barisan.

Sedangkan menurut orang Singkil, bahwa orang Alas berasal dari daerah Singkil, kabupaten Aceh Selatan, yang ditandai dengan adanya tari Alas yang sama dengan tarian dari daerah Singkil. Dalam bahasa Singkil, "Alas" diartikan sebagai "pembukaan".
Pendapat lain berasal dari suku Kluet, dikatakan bahwa bahasa dan beberapa mergo (marga) yang dipakai orang Alas mirip dengan bahasa atau mergo yang dimilikin oleh suku Kluet di Kluet Utara dan Hulu Singkil.

Namun, menurut orang Alas, bahwa mereka memiliki bahasa dan budaya sendiri yang berbeda dengan suku Gayo, Singkil maupun Kluet. Suku Alas berbicara dalam bahasa sendiri yang disebut bahasa Alas, walaupun bahasa Alas sebenarnya banyak mendapat pengaruh dari bahasa Gayo maupun Singkil. Selain dengan bahasa Gayo dan Singkil, bahasa Alas memiliki kekerabatan dengan bahasa Karo dan Pakpak. Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Alas diklasifikasikan sebagai salah satu cabang dari rumpun keluarga bahasa Batak. Sedangkan dari tradisi dan budaya, orang Alas memiliki budaya sendiri, seperti permainan rakyat, upacara tradisional maupun cerita-cerita rakyatnya.

Menurut para peneliti bahwa suku Alas merupakan salah satu etnik dalam rumpun Batak, beserta suku Pakpak, Karo, Toba, Kluet dan lain-lain. Walaupun secara tradisional mungkin orang Alas tidak terlalu merasa sebagai orang Batak. Diperkirakan suku Alas ini hadir di wilayah ini pada gelombang pertama kelompok Proto Malayan yang menyebar di Tanah Alas sekarang ini.
Suku Alas walaupun berada di provinsi Nanggroe Aceh, secara tradisi, budaya, bahasa dan struktur fisik, berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di wilayah ini.

Sejak abad ke-18 dan 20 penduduk Tanah Alas dimasuki arus migrasi dari Gayo Lues, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing dan China. Karena sebagian besar para pendatang ini memiliki marga-marga sebagai identitas, maka masyarakat suku Alas kembali menampilkan marga-marga mereka untuk membedakan mereka dengan suku-suku pendatang tersebut. Marga (Merge) yang terdapat pada masyarakat Alas antara lain adalah Selian, Sekedang, Beureueh, Pinem, Mahe, Acih, Seucawan, Ramut, Deski, Klieng, Sambo, Bangko dan lain-lain.

rumah tradisional suku Alas
(ubaiselian.blogspot.com)
Gampong atau desa dalam orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya anak mewarisi nama marga dari keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge (jodoh harus dicari di merge lain).

Masyarakat suku Alas mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka menjalankan syariat agama Islam dengan taat. Pengaruh Islam sangat kuat dalam kehidupan masyarakat suku Alas. Beberapa kesenian suku Alas terlihat banyak dipengaruhi oleh budaya Islam.

suku Alas di masa lalu (sekitar tahun 1900an)
(jv.wikipedia.org)
Kabupaten Aceh Tenggara, yang merupakan wilayah pemukiman suku Alas berada di dataran tinggi Bukit Barisan, dilalui banyak sungai, salah satunya adalah Lawee Alas (sungai Alas). Selain itu seni budaya, kabupaten Aceh Tenggara juga memiliki kekayaan budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu. Tari Saman yang menjadi tarian utama suku Alas, juga dimiliki oleh suku Gayo dan suku Singkil.

Seni perang adat Alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan. Sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walau sudah jarang yang bisa memainkannya.

Tanah Alas tercatat dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka penduduk ini masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.
Menurut Kreemer (1922:64) kata “Alas” berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan. Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama Raja Lambing, keturunan dari Raja Lontung atau cucu dari Guru Tatea Bulan dari Samosir Tanah Batak Toba. Guru Tatea Bulan adalah saudara kandung dari Raja Sumba. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah merupakan orang tua dari Raja Borbor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempunyai 7 orang anak yaitu, Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang dikenal dengan siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, Solin di Dairi, Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas dan Kluet di Aceh Selatan. Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari 3 bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim. Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo. Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; Sebayang 1986:17). Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya), yang bernama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberi nama Alas dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.
Kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat Raja Lambing tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Awal kedatangan Malik Ibrahim melalui pesisir bagian timur (Pasai) masih memegang tradisi matrilineal, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak keturunannya menetapkan garis keturunan mengikuti merga pihak Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas.
Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul kerajaan lain yang dikenal dengan Sekedang dengan basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal kehadirannya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu Raja Dewa yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yaitu bernama Nazarudin yang dikenal dengan panggilan Datuk Rambut yang datang dari Pasai. Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian Barat laut Batumbulan yaitu Terutung Pedi, lalu hadir juga kelompok Selian, dan datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi merga Munthe, Pinim dan Karo-Karo. Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula merga Deski yang bermukim di kampong ujung barat.
Terlepas dari cerita di atas, ada suatu cerita lain yang mengatakan bahwa marga pertama di Tanoh Alas adalah Pagan Sinambela.

Masyarakat suku Alas memiliki kesenian yang menarik, beberapa kesenian memiliki kesamaan dan kemiripan dengan kesenian masyarakat suku Gayo, yaitu:
  • Tari Saman
  • Pelebat
  • Mesekat
  • Landok Alun
  • Vokal Suku Alas
  • Canang Situ
  • Canang Buluh
  • Genggong
  • Oloi-oloi
  • Keketuk layakh

Kerajinan Suku Alas, adalah:
  • Nemet (mengayam daun rumbia)
  • Mbayu amak (tikar pandan)
  • Bordir pakaian adat
  • Pande besi (pisau bekhemu)
  • dan masih banyak lagi

Makanan Tradisional, adalah:
  • Manuk labakh
  • Ikan labakh
  • Puket Megaukh
  • Lepat bekhas
  • Gelame
  • Puket Megaluh
  • Buah Khum-khum
  • Ikan pacik kule
  • Teukh Mandi
  • Puket mekuah
  • Tumpi

Masyarakat suku Alas sebagian besar berada di pedesaan, bermatapencaharian dari pertanian dan peternakan. Orang Alas memiliki kehidupan pertanian yang baik, terutama pada tanaman padi. Tanaman padi menjadi kegiatan utama orang Alas. Oleh karena itu Tanah Alas menjadi daerah lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi Arabica dan kemiri, serta memanfaatkan hutan untuk mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Beberapa hewan ternak seperti bebek, ayam, kuda, kambing, kerbau dan sapi juga menjadi kegiatan tambahan mereka.

situs terkait:
  • http://protomalayans.blogspot.com/2012/07/suku-alas.html
  • http://www.misi.sabda.org/alas-indonesia 
  • http://ubaiselian.blogspot.com/2012/05/aceh-tenggara-tempo-doeloe.html
  • http://jv.wikipedia.org/wiki/Gambar:Suku_Alas.jpg
post terkait:

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment