Setelah banyak ulasan tentang asal usul orang Batak yang diduga berasal dari berbagai daerah di dunia ini. Kini ada satu lagi usulan baru yang dilakukan oleh Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak, yang melakukan penelitian dan mengumpulkan sejumlah fakta untuk menyatakan bahwa orang Batak berawal dari bangsa Manchuria, tepatnya dari daerah Mongol.
Mari kita lihat ulasannya.
Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalahnya berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Modern” dalam seminar yang digagas DPP Kesatuan Bangso Batak Sedunia (Unity Of Bataknese In The World) di Medan beberapa waktu lalu, dengan menghadirkan Dr Thalib Akbar Selian MSc (Lektor Kepala/Research Majelis Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara), Drs S Is Sihotang MM (mantan Bupati Dairi), dan Nelson Lumban Tobing (Batakolog asal Universitas Sumatera Utara).
Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak, mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bangsa Batak menurutnya berasal dari keturunan suku Manchuria dari ras Mongolia. Nenek moyang orang Batak berasal dari keturunan suku Manchuria yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Manchuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Dari peristiwa migrasi di pegunungan Tibet tersebut dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar. Suku Manchuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar.
Setelah dari pegunungan Tibet, suku Manchuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Manchuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini. Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Manchuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Manchuria berlayar menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Selatan, ke Tana Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Manchuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh. Dari Teluk Aru ini, suku Manchuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.
Penerus keturunan suku Manchuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan dari para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh. Fakta ini diketahuinya dan dibuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand. Pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang, yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Manchuria, dan Edmund Leach (Rithingking Anhtropology ) mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Manchuria dengan Suku Batak.
Dari kajian literatur itu, generasi penerus suku Manchuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi suku Manchuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun. Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak.
Dari sejumlah literature itu, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini. Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi. Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpilihara dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak.
sumber:
Mari kita lihat ulasannya.
Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalahnya berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Modern” dalam seminar yang digagas DPP Kesatuan Bangso Batak Sedunia (Unity Of Bataknese In The World) di Medan beberapa waktu lalu, dengan menghadirkan Dr Thalib Akbar Selian MSc (Lektor Kepala/Research Majelis Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara), Drs S Is Sihotang MM (mantan Bupati Dairi), dan Nelson Lumban Tobing (Batakolog asal Universitas Sumatera Utara).
Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak, mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bangsa Batak menurutnya berasal dari keturunan suku Manchuria dari ras Mongolia. Nenek moyang orang Batak berasal dari keturunan suku Manchuria yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Manchuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Dari peristiwa migrasi di pegunungan Tibet tersebut dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar. Suku Manchuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar.
Setelah dari pegunungan Tibet, suku Manchuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Manchuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini. Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Manchuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Manchuria berlayar menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Selatan, ke Tana Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Manchuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh. Dari Teluk Aru ini, suku Manchuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.
Penerus keturunan suku Manchuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan dari para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh. Fakta ini diketahuinya dan dibuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand. Pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang, yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Manchuria, dan Edmund Leach (Rithingking Anhtropology ) mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Manchuria dengan Suku Batak.
Dari kajian literatur itu, generasi penerus suku Manchuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi suku Manchuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun. Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak.
Dari sejumlah literature itu, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini. Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi. Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpilihara dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak.
sumber:
Bang bisa diralat,toraja itu bukan di sulawesi utara,tapi sulawesi selatan..
ReplyDeleteo iya..maaf, ada kesalahan waktu pengeditan
Deletetrims ya koreksinya ..
Salam