
Suku
Batak Karo berbicara dalam bahasa Karo, yang dikenal sebagai Cakap
Karo. Bahasa Karo ini termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia, yang
berkerabat dengan bahasa Batak Pakpak, Gayo, Alas dan Singkil. Bahasa Karo memiliki dialek yang berirama dengan intonasi yang menarik, agak berbeda dengan intonasi dan dialek etnik batak lainnya.
Asal usul suku Karo menurut beberapa bahasan dan penelitian yang dilakukan para pakar sejarah, pada dasarnya suku Karo memiliki perjalanan sejarah yang lama sejak sebelum Masehi. Suku Batak Karo dengan etnik batak lainnya adalah penghuni pertama pulau Sumatra, yang pada awalnya kemungkinan merupakan suatu komunitas yang datang dari daratan Indochina, yang akhirnya tersebar menjadi komunitas sendiri-sendiri di seluruh wilayah Sumatra. Dari suatu penelitian dalam budaya suku Karo terdapat budaya Dongson, yang merupakan budaya purba yang berawal dari dari daratan Vietnam sekitar 5000 tahun yang lalu. Tidak diketahui secara pasti apakah suku Batak Karo merupakan keturunan suku Dongson. Budaya Dongson sendiri tersebar dan diusung pada seluruh etnik Batak di Sumatra.
Sedangkan menurut penelitian sebelumnya, dikatakan suku Karo merupakan pembauran antara beberapa suku pendatang dengan penduduk asli di wilayah suku Karo pada masa lalu.
Menurut versi lain, bahwa suku Karo berasal dari suatu Kerajaan Tua yang bernama Kerajaan Haru. Dari keturunan Kerajaan Haru inilah terbentuknya masyarakat suku Karo. Setelah eksisnya suku Karo di wilayah ini, maka berdatanganlah segala bangsa dari segala penjuru, termasuk dari India, Arab, China, dan juga dari suku-suku Batak lain yang berbaur dan masuk dalam adat-istiadat suku Karo. Oleh karena itulah pada masyarakat suku Karo, terdapat bermacam-macam ciri-ciri fisik yang berbeda, dari kulit kuning, kulit coklat, hingga kulit gelap kehitaman. Tetapi kalau dicermati sedikit ke dalam, dari bentuk kain di atas kepala para perempuan suku Karo, mirip dengan kain kepala salah satu suku di Thailand.
Sedangkan menurut penelitian sebelumnya, dikatakan suku Karo merupakan pembauran antara beberapa suku pendatang dengan penduduk asli di wilayah suku Karo pada masa lalu.
Menurut versi lain, bahwa suku Karo berasal dari suatu Kerajaan Tua yang bernama Kerajaan Haru. Dari keturunan Kerajaan Haru inilah terbentuknya masyarakat suku Karo. Setelah eksisnya suku Karo di wilayah ini, maka berdatanganlah segala bangsa dari segala penjuru, termasuk dari India, Arab, China, dan juga dari suku-suku Batak lain yang berbaur dan masuk dalam adat-istiadat suku Karo. Oleh karena itulah pada masyarakat suku Karo, terdapat bermacam-macam ciri-ciri fisik yang berbeda, dari kulit kuning, kulit coklat, hingga kulit gelap kehitaman. Tetapi kalau dicermati sedikit ke dalam, dari bentuk kain di atas kepala para perempuan suku Karo, mirip dengan kain kepala salah satu suku di Thailand.
![]() |
rumah adat |
Suku Karo terdiri dari beberapa sub-kelompok,
yaitu:
- Karo Gugung (Gunung) yang mendiami daerah dataran tinggi Bukit Barisan
- Karo Jahe yang mendiami daerah dataran rendah seperti di daerah Langkat dan Deli Serdang
- Karo Baluren
- Karo Melayu Pesisir Timur yang bermukim di pesisir Timur pulau Sumatra
Suku
Karo ini memiliki dialek yang berbeda dengan suku-suku batak lainnya.
Dialek dalam bahasa Karo memiliki irama yang naik turun serta melantun
seperti orang yang sedang bersenandung, sehingga terdengar lebih lembut.
Berbeda dengan dialek suku-suku Batak yang lain, yang cenderung agak
keras.
Pada masa dahulu di
Sumatra Utara pernah berdiri suatu Kerajaan yang besar di wilayah
Sumatra Utara, yang rajanya berasal dari suku Karo, kerajaan tersebut
bernama Kerajaan Haru. Menurut Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari
Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan
di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Diperkirakan Pa Lagan
ini berasal dari suku Karo.
Kerajaan
Haru ini bertahan sampai abad 12, dan pada masa jayanya pernah
berperang dengan Kerajaan dari Malaka, Kerajaan dari Aceh bahkan
menaklukkan pasukan Majapahit yang mencoba menginvasi wilayah Sumatra
Timur. Akibat dari takluknya pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada
ini lah yang membuat Gajah Mada bersumpah dalam sumpahnya yang ingin
menaklukkan Kerajaan Haru dan sekitarnya serta menaklukkan seluruh
Nusantara, tetapi sumpah tersebut tidak terlaksana.
Di Aceh Besar provinsi Aceh, terdapat suatu kelompok masyarakat yang konon adalah keturunan dari Kerajaan Haru, yang dalam bahasa Acehnya disebut suku Karee. Menurut H. Muhammad Said, dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981), menceritakan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara (1961), mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar terdapat kerajaan Islam dan terdapat pula suatu Kerajaan Karo. Selanjutnya disebutkan bahwa penduduk asli di wilayah ini melakukan kawin-campur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir Kerajaan Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok masyarakat Karo di Aceh kemudian berubah sebutan menjadi Kaum Lhee Reutoih atau Kaum 300. Penamaan demikian berawal dari peristiwa perselisihan antara masyarakat Karo dengan suku Hindu Tamil di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang. Sebanyak 300 orang suku Karo akan berkelahi dengan 400 orang suku Hindu Tamil di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo di wilayah tersebut disebut sebagai kaum 300. Setelah sekian lama hidup di wilayah Aceh Besar ini , banyak terjadi kawin-campur antara suku Karo Kaum 300 dengan suku Hindu Tamil, dan dari hasil pembauran kawin-campur ini terbentuklah suatu kaum baru yang disebut sebagai kaum Ja Sandang. Di wilayah ini hidup juga beberapa suku lain seperti kaum Imeum Peuet dan kaum Tok Batee.
Dalam adat-istiadat
suku Karo yang tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo adalah
adat Rakut Sitelu atau Daliken Sitelu, yang berarti Ikatan Yang Tiga.
Rakut Sitelu berarti adalah Sangkep Nggeluh atau Kelengkapan Hidup bagi
orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah sistem sosial adat dalam
masyarakat Karo terdiri dari tiga unsur, yaitu:
- Kalimbubu (Kalimbubu, bermakna sebagai keluarga pemberi isteri)
- Anak Beru (anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri)
- Senina (senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti)
Tutur Siwaluh ini terdiri dari 8 golongan.
- puang kalimbubu
- kalimbubu
- senina
- sembuyak
- senina sipemeren
- senina sepengalon/sedalanen
- anak beru
- anak beru menteri
Pada masyarakat suku Karo juga terdapat aksara
Karo, yang pada masa sekarang ini sudah tidak digunakan lagi pada
masyarakat Karo. Aksara Karo ini adalah suatu Aksara Kuno yang walau
tidak digunakan lagi, tapi masih terpelihara baik pada
masyarakat suku Karo.
Suku Karo
terkenal dengan keahliannya dalam bercocok tanam. Daerah Tanah Karo
sendiri terkenal menjadi pemasok bahan sayur-sayuran dan buah-buahan
hampir ke seluruh wilayah Sumatra Utara hingga ke daerah Aceh. Selain
itu di Tanah Karo juga banyak terdapat kebun kopi Arabica, milik rakyat
yang terus berkembang. Masyarakat suku Karo pada umumnya hidup sebagai
petani, terutama pada sayur-sayuran dan buah-buahan.
sumber:
- protomalayan
- dan sumber lain

No comments:
Post a Comment