Suku Karo Melayu Pesisir Timur


Suku Karo Melayu Pesisir Timur, adalah suatu masyarakat adat yang wilayah pemukimannya tersebar di daerah pantai Timur Sumatra Utara. 

Komunitas suku ini menyebut diri mereka sebagai suku Melayu Pesisir Timur. Apabila ditilik asal usul komunitas masyarakat ini, dahulunya mereka berasal dari keturunan suku Karo Jae (Karo Bawah), yang sejak ratusan tahun lalu bermigrasi ke wilayah pantai Timur Sumatra Utara. Di wilayah pantai Timur Sumatra ini, mereka lama bermukim dan hidup bersama-sama suku Melayu yang telah berada di wilayah ini. Karena telah sekian lama mereka hidup dan tinggal di wilayah ini, mereka melepas marga dan adat-istiadatnya, yang pada akhirnya mereka menyatu dengan budaya Melayu setempat. Oleh karena itu saat ini mereka pun menyebut diri mereka sebagai suku Melayu Pesisir Timur. 

Dari penuturan para orang tua di masyarakat suku Melayu Pesisir Timur, menceritakan bahwa mereka dulunya memang berasal dari Tanah Karo, tepatnya dari suku Karo Jae. Konon, pada masa lalu mereka mengalami kesulitan hidup di wilayah asal mereka, selain itu sering terjadi konflik di kalangan masyarakat suku Karo Jae, tidak tahan terhadap situasi serba sulit itu, banyak dari mereka yang memilih pindah mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup mereka. Dalam perjalanan mereka menyusuri sungai Sunggal dan sungai Deli hingga sampailah ke pesisir pantai timur Sumatra Utara, yang pada masa itu disebut sebagai Sumatra Timur.

Secara fisik mereka memang berbeda dengan suku Melayu Pesisir yang memang berkerabat dengan suku Melayu Riau dan suku Melayu dari Tanah Semenanjung Malaysia. Suku Karo Melayu Pesisir Timur ini berkerabat dengan suku Karo Jae di daerah Deli Serdang dan Langkat. Tetapi setelah sekian lama, mereka pun telah menjadi Melayu, dan menganggap diri mereka sebagai Melayu.

Pada beberapa tahun belakangan ini, terdapat kemajuan pada masyarakat Karo Melayu Pesisir Timur ini, karena beberapa dari mereka mulai mencantumkan kembali marga-marga yang telah lama mereka lepaskan. Beberapa marga yang terdapat pada mereka adalah Surbakti, Kembaren dan Purba telah kembali mereka cantumkan pada identitas mereka. Seperti para Batak Dalle di Sumatera Timur, para Karo Melayu ini pun akhirnya juga mulai banyak yang kembali menyadari asal usul keluarganya. Sejak tahun 1950 sampai sekarang, mulai banyak mereka yang kembali menggunakan Merga (Marga) Karo nya. Akan tetapi budaya, bahasa daerah Karo, dan adat istiadat Karo mereka yang sudah hilang selama beberapa generasi memang sulit untuk dikembalikan. Sehingga mereka tetap diklasifikasikan sebagai warga Karo Melayu Pesisir Timur atau Karo Melayu. Walaupun begitu, mereka tetap menyebut diri mereka sebagai suku Melayu Pesisir Timur. Mereka masih banyak memiliki keluarga yang berada di wilayah Karo Jae seperti di Langkat dan Deli Serdang.

sumber
:
  • enjoyed-kings.blogspot.com
  • tentangbatak.blogspot.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain
Read More...

Suku Devayan

suku Devayan
Suku Devayan, adalah salah satu suku minoritas di provinsi Aceh. Hidup di pulau Simalur (Simeulue) yang berada di sebelah barat pulau Sumatra. Suku Devayan ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.

Secara ras, suku Devayan ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh. Suku Devayan ini memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Devayan. Suku Devayan ini secara fisik mirip dengan suku Nias dan Mentawai yang mendiami kepulauan Nias di Sumatra Utara. Ciri-ciri kulit berwarna kuning, mata agak sipit, menjelaskan bahwa suku Devayan ini termasuk ke dalam ras mongoloid. Ciri-ciri ini dimiliki hampir seluruh penduduk yang mendiami pulau dan kepulauan di pesisir sebelah barat pulau Sumatra. Bahasa Devayan sendiri masih berkerabat dengan bahasa Nias, dari segi dialek dan perbendaharaan kata banyak terdapat kemiripan.
Saat ini bahasa Devayan, sedang terancam kepunahan, karena generasi muda suku Devayan sepertinya lebih suka berbicara menggunakan bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah ini. Sedangkan bahasa Devayan sendiri hanya digunakan di rumah-rumah atau di kalangan suku Devayan saja.

Asal usul suku Devayan ini diperkirakan pada awal kedatangannya kira-kira 7000 tahun yang lalu, pada perjalanan migrasinya melintas dari sebelah barat pulau Sumatra dan tersebar di pulau-pulau yang berada di sebelah barat pulau Sumatra. Datang bersama-sama dengan suku-suku yang berada di pulau kepulauan di pesisir sebelah barat pulau Sumatra, seperti suku Nias, Mentawai dan Enggano.

Di pulau Simalur, suku Devayan hidup berdampingan dengan suku Haloban, suku Sigulai dan suku Lekon. Selain itu ada juga kelompok pendatang keturunan campuran Minangkabau dan Melayu yang telah tinggal lama di pulau Simalur tersebut, yang disebut suku Aneuk Jamee.

Suku Devayan saat ini mayoritas memeluk agama Islam. Agama Islam berkembang dengan kuat di pulau Simalur ini, yang menjadi agama mayoritas seluruh penduduk di pulau Simalur.

Suku Devayan kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan, dan juga bertani pada ladang tanah kering. Mereka juga menanam tanaman keras seperti kelapa, ubi dan lain-lain. Selain itu tidak sedikit dari masyarakat suku Devayan yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, dan juga sebagai guru dan pedagang.


diolah dari 

  • protomalayans.blogspot.com
  • dan berbagai sumber


foto: ranselkosong.com
Read More...

Suku Sigulai

pantai Sigulai
Suku Sigulai, kadang disebut juga sebagai suku Salang, adalah suatu komunitas suku yang mendiami pulau Simalur bagian utara. Suku Sigulai ini sebagian besar bermukim di kecamatan Simalur Barat dan kecamatan Alafan. Mereka juga mendiami sebagian desa di kecamatan Salang, kecamatan Teluk Dalam dan kecamatan Simalur Tengah.

Suku Sigulai termasuk salah satu suku asli di kepulauan Simalur ini, bersama-sama dengan suku Devayan, Lekon dan Haloban. Tidak adanya sejarah asal usul suku Sigulai ini secara tertulis, sehingga tidak diketahui secara pasti asal usul suku Sigulai ini. Hanya saja beberapa perkiraan para penulis di beberapa situs di web, mengatakan bahwa suku Sigulai ini dahulu berasal dari tempat yang sama dengan suku Devayan, Lekon, Haloban dan Nias serta Mentawai. Karena secara fisik suku Sigulai ini termasuk ke dalam ras mongoloid yang dahulunya bermigrasi ke wilayah ini bersama-sama suku Nias, Mentawai, Devayan, Lekon dan Haloban, dan tersebar-sebar ke beberapa wilayah di pulau dan kepulauan di sebelah barat pulau Sumatra. Salah satunya suku Sigulai ini yang menetap di daerah ini sampai sekarang.

Masyarakat suku Sigulai mayoritas telah memeluk agama Islam yang begitu kuat mempengaruhi wilayah ini, sehingga beberapa seni-budaya suku Sigulai terasa nilai-nilai Islami nya.

Bahasa Sigulai, masih berkerabat dengan bahasa Devayan, juga dengan bahasa Lekon dan Nias. Walaupun berbeda tetapi masih terdapat kemiripan dalam perbendaharaan kata serta dialeknya. Bahasa Sigulai sendiri saat ini berada di tengah-tengah dominasi bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah ini. Selain bahasa Aneuk Jamee, bahasa Aceh juga turut mempengaruhi kehidupan berbahasa suku-suku asli di pulau Simalur ini. Sehingga kalangan generasi muda suku Sigulai cenderung berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee dalam kehidupan pergaulannya. Bahasa Sigulai sendiri, tinggal diucapkan di wilayah perkampungan, di rumah-rumah dan kalangan suku Sigulai saja.

Kehidupan suku Sigulai dalam kesehariannya rata-rata sebagai nelayan dan sebagian memilih sebagai petani di ladang.

sumber:



  • harian-aceh.com
  • foto: obeytea.blogspot.com
  • wikipedia
  • protomalayans.blogspot.com dan sumber lain
Read More...

Suku Lekon

Suku Lekon, adalah suatu masyarakat adat yang terdapat di kecamatan Alafan kepulauan Simalur (Simeulue) di provinsi Aceh. Suku ini bermukim di desa Lafakha dan desa Langi.

Suku Lekon ini diperkirakan hadir di kepulauan Simalur ini bersama-sama dengan suku Devayan, Sigulai dan Haloban, juga beserta suku Nias, Mentawai dan Enggano, yang pada perjalanan migrasi bangsa Proto Malayan dari daratan Indochina pada sekitar 7000 tahun yang lalu. Tersebar-sebar di beberapa pulau dan kepulauan yang membentuk komunitas suku-suku tersendiri. Tidak diketahui secara pasti, apakah mereka dahulunya berasal dari satu komunitas atau memang sejak awal sudah menjadi beberapa etnis yang berbeda. Tetapi apabila dilihat dari kemiripan bahasa antara bahasa Lekon dengan bahasa Devayan, juga dengan bahasa Nias, diperkirakan dahulunya mereka berasal dari suatu tempat yang sama atau juga berasal dari satu etnis yang sama. Hanya saja, karena telah terpisah-pisah sekian lama, maka bahasa dan adat-istiadat mereka pun mengalami perubahan.

Secara fisik suku Lekon ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi ini. Karena suku Lekon ini memiliki ciri-ciri fisik berkulit kuning dan bermata agak sipit, yang menunjukkan bahwa mereka termasuk ke dalam ras mongoloid, seperti suku Devayan, Sigulai, Haloban, Nias, Mentawai dan Enggano.
Bahasa Lekon sering dianggap sebagai dialek dari bahasa Devayan, karena terdapat banyak kemiripan dari perbendaharaan kata dan dialek. Bahasa Lekon, saat ini terdesak oleh bahasa Aneuk Jamee yang lebih mudah diucapkan, sehingga mempengaruhi generasi muda Lekon untuk lebih suka berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah kepulauan Simalur ini. Suku Aneuk Jamee, adalah komunitas pendatang campuran suku Minang, Melayu dan Aceh, yang juga telah lama menetap di wilayah ini. Perkembangan suku Aneuk Jamee sangat pesat dalam berkembang biak, sehingga bahasa Aneuk Jamee pun pesat mempengaruhi kehidupan suku-suku asli di kepulauan Simalur ini. Masyarakat suku Lekon selain bisa berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee, mereka juga bisa berbicara dalam bahasa Devayan.

Masyarakat suku Lekon, biasanya dalam kegiatan sehari-hari hidup sebagai nelayan, tetapi ada juga yang lebih memilih untuk bertani di ladang. Selain itu mereka juga memelihara hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
  • dari berbagai sumber
  • protomalayans.blogspot.com dan wikipedia
Read More...

Suku Haloban

perkampungan nelayan suku Haloban
Suku Haloban, adalah suatu komunitas suku yang bermukim di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya berada di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari tujuh desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai.

Suku Haloban ini hidup di kepulauan Banyak, yang berada di pesisir sebelah barat pulau Sumatra. Mereka adalah penghuni asli di kepulauan Banyak ini. Secara fisik dan ras mereka berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh. Mereka memiliki ras mongoloid, berkulit kuning dan bermata agak sipit, sangat mirip penduduk dari pulau Nias dan Mentawai.
Di pulau Banyak ini, suku Haloban hidup berdampingan dengan suku pendatang yang telah lama menetap di wilayah ini, seperti suku Aneuk Jamee dan suku Nias.

masyarakat Haloban
Suku Haloban berbicara dalam bahasa Haloban, yang masih berkerabat dekat dengan bahasa Devayan di pulau Simalur (Simeulue), dan juga dengan bahasa Nias di kepulauan Nias.  Bahasa Haloban sendiri saat ini  hampir tergeser oleh bahasa para pendatang yang semakin banyak memenuhi wilayah pulau Banyak ini. sehingga bahasa Haloban saat ini hanya digunakan di rumah-rumah atau di kalangan mereka sendiri. Sedangkan para generasi mudanya banyak yang lebih suka berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee atau bahasa Aceh.

Asal usul suku Haloban ini diperkirakan datangnya bersama-sama dengan nenek moyang suku Nias, Mentawai dan Enggano, juga dengan suku Devayan, Sigulai dan Lekon. Pada masa sekitar 7000 tahun yang lalu mendarat dan tersebar di pulau-pulau sebelah barat pulau Sumatra. Dapat dilihat dari struktur fisik dan bahasa terdapat banyak kemiripan. Hanya saja budaya suku Haloban saat ini sudah terpengaruh dari budaya Islam yang menggeser budaya asli suku Haloban.

Suku Haloban secara mayoritas telah memeluk agama Islam yang pada masa lalu begitu kuat mempengaruhi wilayah ini. Beberapa adat istiadat dan seni-budaya suku Haloban banyak dipengaruhi oleh budaya Islam, yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Aceh dan Minang.
Selain agama Islam yang menjadi mayoritas di pulau Banyak ini, terdapat juga agama Kristen yang dianut oleh suku Nias yang berada di desa Sialit. Walaupun di daerah ini terdapat dua kelompok agama, tetapi kerukunan beragama sangat terjaga dan harmonis di wilayah ini.

karamba ikan milik suku Haloban
Kehidupan sehari-hari suku Haloban ini adalah sebagai nelayan dan petani. Mereka menanam berbagai macam tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
  • harian-aceh.com
  • foto: kepulauanbanyak.blogspot.com
  • foto: acehoceancoral.org
  • wikipedia
  • dan sumber lain
Read More...

Suku Nias

tradisi Lompat Batu Nias
Suku Nias bermukim di Pulau Nias yang terletak di Samudera Hindia di bagian Barat Pulau Sumatera dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Saat ini wilayah Nias masih tergabung dalam wilayah administrative Provinsi Sumatera Utara. Wilayah administrative Pulau Nias berstatus Wilayah Tk. II Kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Nias dan pemekarannya Kabupaten Nias Selatan.

Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul, suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Mitos tersebut mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Tahta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan seperti yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa manusia di Pulau Nias sudah ada sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau menurut Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Tapi baru-baru ini teori bahwa suku Nias berasal dari Vietnam diragukan, karena ditemukan bukti (Kompas) bahwa suku Nias berasal dari Formosa Taiwan.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Suku Nias memiliki keterkaitan dengan Suku Batak secara umum. Akan tetapi hal ini masih samar-samar, karena tidak ada data sejarah yang mendukung kekerabatan antara suku Nias dan suku Batak, hanya berdasarkan perjalanan migrasi Proto Malayan saja yang mungkin bisa dihubungkan.

Di pesisir barat pulau Sumatra, terdapat beberapa kepulauan dan pulau-pulau kecil yang juga didiami oleh beberapa suku, yang sebenarnya masih berkerabat langsung dengan suku Nias. Beberapa kesamaan fisik dan bahasa menjadi pertimbangan kuat bahwa dahulunya pernah terjadi hubungan asal muasal dan kekerabatan atau memiliki kesamaan asal usul, tempat maupun nenek moyang.

Kerabat Dekat Nias tersebut adalah sebagai berikut :

Suku Mentawai
Suku Nias memiliki banyak kemiripan dan kekerabatan dari segi ras etnis dan budaya serta akar bahasa derah dengan suku Mentawai yang wilayahnya tersebar di kepulauan Mentawai yang saat ini termasuk Provinsi Sumatera Barat. Penyebaran Suku Mentawai adalah di Kepulauan Mentawai yang mencakup Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan beberapa pulau kecil-kecil di sekitarnya.

Banyak unsur budaya, adat istiadat, dan akar bahasa daerah Mentawai yang diperkirakan berasal dari suatu rumpun kuno yang sama dengan Nias. Disamping itu ciri Marga yang ada di Mentawai banyak yang mirip dengan marga yang umum digunakan masyarakat Nias. Kemiripan itu terlihat lebih bersifat varian bentuk penulisan dan pengucapan dari marga yang umum di Nias.

Suku Enggano
Selain dengan Suku Mentawai kekerabatan Suku Nias ditemukan juga dengan Suku Enggano yang wilayahnya terletak di Pulau Enggano yang saat ini termasuk Provinsi Bengkulu. Berbagai kemiripan etnis dan unsur budaya mereka mendukung temuan dugaan kekerabatan diantara mereka dengan Suku Nias dan Mentawai di masa yang silam. Diperkirakan penyebaran Nenek Moyang mereka di sepanjang kepulauan di sebelah Barat Pulau Sumatera berlangsung ratusan, ribuan tahun yang lalu hingga mencapai wilayah Pulau Enggano.

Suku-suku di pulau Simalur
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa penduduk asli Pulau Simalur yang terletak di sebelah pantai Barat Aceh juga berkerabat dengan etnis Nias. Pendapat ini mungkin benar jika melihat rangkaian kepulauan di sepanjang Pantai barat Pulau Sumatera umumnya dihuni oleh etnis yang secara budaya agak primitive dan sangat tertutup dalam perjalanan sejarah yang panjang. Kondisi saat ini masyarakat Simalur telah mengadopsi banyak hal dalam aspek kehidupannya yang khas Aceh. Bilamana ditilik dari bahasa suku-suku di pulau Simalur (suku Simalur, suku Devayan, suku Haloban, Lekon dan Sigulai) sebenarnya sangat banyak kemiripan dengan bahasa yang ada di pulau Nias. Selain itu suku-suku di pulau Simalur juga sangat mirip secara fisik dengan suku Nias.


referensi:
http://sains.kompas.com/read/2013/04/16/09081323/Asalusul.Orang.Nias.Ditemukan
Read More...

Suku Batak Melayu Langkat

Kabupaten Langkat, adalah salah satu kabupaten di provinsi Sumatra Utara. Kabupaten Langkat ini dihuni oleh mayoritas suku Melayu yang tersebar di berbagai kecamatan di kabupaten Langkat. 

Tari Zapin
Batak Melayu Langkat
Ada satu hal yang unik terjadi di kabupaten Langkat ini. Di kabupaten Langkat ini terdapat suatu kelompok masyarakat yang mengaku sebagai Melayu tetapi dalam tubuh mereka mengalir darah batak, dan nama marga di belakang nama depan mereka. Menurut penuturan beberapa masyarakat di wilayah ini, bahwa dahulunya nenek moyang mereka berasal dari batak. Tetapi mereka sendiri tidak tahu berasal dari batak yang mana. Selain itu, beberapa marga mulai tidak dipakai lagi, karena mereka telah merasa menjadi Melayu dan telah menyatu dengan budaya dan adat-istadat Melayu. Bagi mereka, dalam budaya Melayu, identitas marga tidaklah terlalu penting. Sehingga dalam keseharian mereka, identitas marga boleh dipakai, atau dihilangkan sama sekali, tergantung pilihan mereka masing-masing. Menurut mereka, identitas marga ini hanya sekedar untuk membedakan kelompok mereka dengan kelompok Melayu lainnya, dan juga agar tidak tersesat dari garis keturunan.

Beberapa marga yang terdapat di kabupaten Langkat ini adalah:
  • Kinayam
  • Sibayang
  • Gerning
  • Lambosa
  • Berastempu
  • Ujung Pinayungan
  • Merangin angin
  • Pasaribu
  • dan lain-lain
Konon menurut penuturan masyarakat di kabupaten Langkat ini, bahwa dahulunya salah seorang istri Raja Langkat berasal dari kelompok marga tersebut.

Apakah kelompok marga-marga di kabupaten Langkat tersebut berasal dari suku-suku batak lainnya, atau memang suatu komunitas tersendiri, atau mereka adalah keturunan dari orang-orang Kerajaan Aru/Haru, yang melarikan diri ke wilayah Langkat.

Apabila dilihat dari marga-marga yang dimiliki oleh masyarakat Melayu di kabupaten Langkat ini, sepertinya masih memiliki sedikit unsur kekerabatan dengan marga-marga batak dari suku Karo, Toba, Pakpak dan Nias. Seperti Pinayungan dengan marga Pinayung dari Pakpak, Gerning dengan marga Gurning dari Toba, Karo dan Alas, Lambosa dengan marga dari Nias, Merangin-angin dengan marga Perangin-angin dari Karo, Ujung dengan marga Ujung dari Toba dan Pakpak serta Sibayang dengan marga Sebayang dari Karo.
Bisa jadi dahulunya mereka berasal dari suku-suku batak yang bermigrasi ke wilayah kabupaten Langkat ini dan setelah sekian lama menetap di wilayah ini, kemudian mereka pun berbaur dan bergabung dalam budaya dan adat-istiadat Melayu, yang mana akhirnya keturunan-keturunannya pun menganggap diri mereka telah Melayu atau telah menjadi Melayu. Walaupun begitu, sebagian dari mereka masih menyematkan nama marga di belakang nama depan mereka sampai saaat ini.

diolah dari berbagai sumber
Read More...

Suku Mondoiliq

Suku Mondoiliq adalah salah satu dari 3 kelompok etnis tua (Suku Pungkut, suku Kamak Kepuh dan suku Mondoiliq) yang pernah hidup dan bermukim di wilayah Sibinail kabupaten Tapanuli Selatan Sumatra Utara.

Kehadiran suku ini di pulau Sumatra diperkirakan sejak awal abad Masehi. Memasuki hutan pedalaman pulau Sumatra dan hidup secara berkelompok, nomaden dan selalu mencari tempat baru untuk dijadikan pemukiman sementara. Suku ini hidup berdampingan dengan 2 suku lainnya pada satu wilayah, yang berada di hutan pedalaman. Pada awalnya suku ini hidup secara nomaden menjelajah hutan-hutan belantara pulau Sumatra. Tidak diketahui secara pasti, mengapa ketiga suku ini memilih hidup pada satu wilayah. Diperkirakan mereka berasal dari rumpun yang sama, dan masih memiliki hubungan kekerabatan. Sehingga mereka dapat hidup berdampingan pada suatu wilayah.

Ketiga suku ini hidup dengan mengamalkan agama animisme dan dinamisme, percaya terhadap roh-roh di alam serta benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana nasib hidup mereka. Mereka juga percaya bahwa roh-roh memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka.

Suku Mondoiliq hidup dengan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, seperti berburu binatang liar, serta menangkap ikan pada sungai-sungai yang melintas dekat dengan pemukiman mereka.
Nama "Mondoiliq" sekilas mirip dengan "Mandailing". Apakah suku ini ada hubungannya dengan suku Mandailing? Ya.. pasti setidaknya, langsung atau tidak langsung pastilah ada hubungannya. Mungkin suku Mondoiliq ini berperan besar untuk hadirnyanya suku Mandailing di Tapanuli Selatan.

Hutan pedalaman tanah Sumatra pada masa itu, sering terjadi peperangan antar suku-suku pedalaman yang melebarkan wilayah kekuasaan. Sehingga sering terjadi peperangan yang menyebabkan suku-suku kecil tercerai berai melarikan diri masuk lebih dalam ke hutan-hutan Sumatra.
Suku Mondoiliq sebagai suku-suku kecil, tidak tahan terhadap tekanan dari suku-suku lain yang lebih dominan, terpisah dan tersebar menyelamatkan diri dan diperkirakan suku Mondoiliq bersama suku KamakKepuh dan Pungkut telah membaur dengan suku-suku lain yang lebih dominan, seperti suku Ulu (Alak Ulu), suku Lubu, atau kelompok etnis Batak Purba yang tersebar di hutan-hutan pedalaman serta kelompok suku Melayu Purba yang juga hidup secara nomaden di hutan pedalaman Sumatra.

diolah dari berbagai sumber
Read More...

Suku Pungkut

Suku Pungkut adalah salah satu dari 3 kelompok etnis tua (Suku Pungkut, suku Kamak Kepuh dan suku Mondoiliq) yang pernah hidup dan bermukim di wilayah Sibinail kabupaten Tapanuli Selatan Sumatra Utara.


"Bagas"
Rumah adat suku Pungkut
Kehadiran suku ini di pulau Sumatra diperkirakan sejak awal abad Masehi. Memasuki hutan pedalaman pulau Sumatra dan hidup secara berkelompok, nomaden dan selalu mencari tempat baru untuk dijadikan pemukiman sementara. Suku ini hidup berdampingan dengan 2 suku lainnya pada satu wilayah, yang berada di hutan pedalaman. Pada awalnya suku ini hidup secara nomaden menjelajah hutan-hutan belantara pulau Sumatra. Tidak diketahui secara pasti, mengapa ketiga suku ini memilih hidup pada satu wilayah. Diperkirakan mereka berasal dari rumpun yang sama, dan masih memiliki hubungan kekerabatan. Sehingga mereka dapat hidup berdampingan pada suatu wilayah.

Ketiga suku ini hidup dengan mengamalkan agama animisme dan dinamisme, percaya terhadap roh-roh di alam serta benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana nasib hidup mereka. Mereka juga percaya bahwa roh-roh memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka.

Suku Pungkut hidup dengan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, seperti berburu binatang liar, serta menangkap ikan pada sungai-sungai yang melintas dekat dengan pemukiman mereka.

Hutan pedalaman tanah Sumatra pada masa itu, sering terjadi peperangan antar suku-suku pedalaman yang melebarkan wilayah kekuasaan. Sehingga sering terjadi peperangan yang menyebabkan suku-suku kecil tercerai berai melarikan diri masuk lebih dalam ke hutan-hutan Sumatra.
Suku Pungkut sebagai suku-suku kecil, tidak tahan terhadap tekanan dari suku-suku lain yang lebih dominan, terpisah dan tersebar menyelamatkan diri dan diperkirakan suku Pungkut bersama suku Kamak Kepuh dan Mondoiliq telah punah dan membaur dengan suku-suku lain yang lebih dominan, seperti suku Ulu, suku Lubu, suku Mandailing. atau dengan kelompok suku Batak Purba yang tersebar di hutan-hutan pedalaman serta kelompok suku Melayu Purba yang juga hidup secara nomaden di hutan pedalaman Sumatra.

diolah dari berbagai sumber
Read More...

Suku Kamak Kepuh

Suku Kamak Kepuh adalah salah satu dari 3 kelompok etnis tua (Suku Pungkut, suku Kamak Kepuh dan suku Mondoiliq) yang pernah hidup dan bermukim di wilayah Sibinail kabupaten Tapanuli Selatan Sumatra Utara.

Kehadiran suku ini di pulau Sumatra diperkirakan sejak awal abad Masehi. Memasuki hutan pedalaman pulau Sumatra dan hidup secara berkelompok, nomaden dan selalu mencari tempat baru untuk dijadikan pemukiman sementara. Suku ini hidup berdampingan dengan 2 suku lainnya pada satu wilayah, yang berada di hutan pedalaman. Pada awalnya suku ini hidup secara nomaden menjelajah hutan-hutan belantara pulau Sumatra. Tidak diketahui secara pasti, mengapa ketiga suku ini memilih hidup pada satu wilayah. Diperkirakan mereka berasal dari rumpun yang sama, dan masih memiliki hubungan kekerabatan. Sehingga mereka dapat hidup berdampingan pada suatu wilayah.

Ketiga suku ini hidup dengan mengamalkan agama animisme dan dinamisme, percaya terhadap roh-roh di alam serta benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana nasib hidup mereka. Mereka juga percaya bahwa roh-roh memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka.

Suku Kamak Kepuh hidup dengan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, seperti berburu binatang liar, serta menangkap ikan pada sungai-sungai yang melintas dekat dengan pemukiman mereka.

Hutan pedalaman tanah Sumatra pada masa itu, sering terjadi peperangan antar suku-suku pedalaman yang melebarkan wilayah kekuasaan. Sehingga sering terjadi peperangan yang menyebabkan suku-suku kecil tercerai berai melarikan diri masuk lebih dalam ke hutan-hutan Sumatra.
Suku Kamak Kepuh sebagai suku-suku kecil, tidak tahan terhadap tekanan dari suku-suku lain yang lebih dominan, terpisah dan tersebar menyelamatkan diri dan diperkirakan suku Kamqak Kepuh bersama suku Pungkut dan Mondoiliq telah punah dan membaur dengan suku-suku lain yang lebih dominan, seperti suku Ulu, suku Lubu, kelompok suku Batak Purba yang tersebar di hutan-hutan pedalaman serta kelompok suku Melayu Purba yang juga hidup secara nomaden di hutan pedalaman Sumatra.

diolah dari berbagai sumber
Read More...