Suku Batak Gayo

orang Gayo
Suku Gayo adalah suatu komunitas masyarakat adat yang terdapat di daerah dataran tinggi Gayo di provinsi Nanggroe Aceh, terkonsentrasi di kota Takengon, kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues serta 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih. Masyarakat suku Gayo juga tersebar di beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.

Orang Gayo secara fisik, bahasa dan budaya tidak sama dengan masyarakat suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Nanggroe Aceh, melainkan justru berkerabat dengan masyarakat etnik Batak dari provinsi Sumatra Utara, seperti suku Batak Karo, Batak Pakpak dan beberapa etnik yang masih dalam ras Batak yang juga berada di provinsi Nanggroe Aceh, seperti suku Alas, Singkil dan Kluet. Orang Gayo menyebut wilayah adat mereka sebagai Tanoh Gayo.

kuburan orang Gayo pra Islam
Sebelum agama Islam masuk dalam kalangan masyarakat Gayo, dahulu orang Gayo memiliki agama tradisional suku yang beberapa peninggalan agama tradisional tersebut masih bisa ditemukan di Tanah Gayo. Saat ini agama tradisional suku tersebut telah ditinggalkan seiring dengan berkembangnya agama Islam di Tanah Gayo.

Pada umumnya masyarakat suku Gayo mayoritas adalah beragama Islam. Agama Islam berkembang sejak beberapa abad yang lalu di kalangan masyarakat suku Gayo. Menurut orang Gayo agama Islam lebih dahulu berkembang di Tanah Gayo dari pada di kalangan masyarakat Aceh sendiri.  Beberapa adat istiadat dan tradisi Gayo mendapat pengaruh dari budaya Islam. Terlihat budaya dan tradisi Islam sangat menonjol dalam setiap kegiatan dan acara pada masyarakat suku Gayo.

Orang Gayo memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Gayo yang digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di antara kalangan mereka, selain itu orang Gayo juga biasanya bisa berbicara dalam bahasa Aceh yang menjadi bahasa mayoritas di provinsi Nanggroe Aceh.

Para peneliti sempat mengelompokkan suku Gayo dalam kelompok Rumpun Batak, walau orang Gayo nya sendiri mungkin tidak merasa sebagai orang Batak. Ditinjau dari kekerabatan bahasa, struktur fisik, perilaku, kebiasaan hidup, tradisi, budaya, marga dan sejarah masa lalu, (dan mungkin kesamaan gen, hanya belum dilakukan penelitian), memiliki kekerabatan yang kuat dengan kelompok etnik batak lainnya. Kerabat terdekat suku Gayo adalah suku Alas, Singkil dan Kluet.

Suku Gayo sendiri terdiri dari beberapa puak, yang menggunakan bahasa, adat istiadat dan tradisi yang sama, dan hanya dibedakan dari dialek, yaitu:
  • Gayo Lut (sekitar danau Laut Tawar)
  • Gayo Deret
  • Gayo Lues (Luwes)
  • Gayo Serbejadi (Lukup)
  • Gayo Kalul
    dan 
  • Gayo Bebesen (Batak 27)

Di Tanoh Gayo sekitar abad 11 Masehi berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Linge (Lingga) yang didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. (dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda).
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke Tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan Kesultanan Syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Masyarakat Gayo hidup dalam komunitas kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:
  • Reje
  • Petue
  • Imem
  • Rayat

Saat ini beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan yang terdiri atas:
  • gecik
  • wakil gecik
  • imem
  • cerdik pandai yang mewakili rakyat.

rumah tradisional Gayo
rumah adat Gayo
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klan (belah/ marga). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Orang Gayo juga menerapkan sistem marga yang diturunkan kepada generasi berikutnya melalui pihak laki-laki. Sebagian besar masyarakat suku Gayo tidak mencantumkan nama marganya, tetapi sebagian kecil masih ada yang mencantumkan nama marganya, seperti yang bermukim di wilayah Bebesen. Identitas marga bagi masyarakat suku Gayo mungkin tidak se"penting" seperti masyarakat etnis Batak lainnya. Tapi sebagian kecil masih mempertahankan identitas marganya, untuk membedakan mereka dengan masyarakat di luar suku Gayo.

Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah Rumah Panjang, sehingga disebut Sara Umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang telah banyak mengalami perobahan kebiasaan, sehingga banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri.

Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, adalah:

Tari Guel
(tanohaceh.com)
tari Saman 
(nakarasido.com)
  • Tari Saman
  • Didong (seni bertutur)
  • Tari Bines
  • Tari Guel
  • Tari Munalu
  • Sebuku (Pepongoten)
  • Guru Gidong
  • Nelengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
Bentuk-bentuk kesenian di atas mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat.

Makanan khas Gayo adalah
  • Masam Jaeng
  • Gutel
  • Lepat
  • Pulut Bekuah
  • Cecah
  • Pengat

Masyarakat suku Gayo pada umumnya hidup pada bidang pertanian, terutama pada tanaman padi sawah dan tanaman kopi. Selain itu mereka juga menanam berbagai jenis sayuran, memelihara hewan ternak serta memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

referensi:
>  http://protomalayans.blogspot.com/2011/08/suku-gayo.html 
>  http://tanohaceh.com 
>  http://nakarasido.com

info tambahan:
>  marga Gayo
>  kamus bahasa Gayo
Read More...

Suku Batak Simalungun

suku Simalungun
Suku Batak Simalungun, adalah salah satu etnik Batak yang terkonsentrasi di kabupaten Simalungun provinsi Sumatra Utara.

Wilayah kediaman suku Batak Simalungun berada di antara 2 etnik batak lainnya, yaitu suku Karo yang berada di kabupaten Tanah Karo dan suku Toba. Bahasa Simalungun sendiri memiliki kemiripan dengan bahasa Karo maupun bahasa Toba. Sehingga bahasa Simalungun disebut sebagai bahasa batak tengah.

Sebagian orang Simalungun saat ini percaya bahwa asal usul orang Simalungun, dikatakan berasal dari India,  tepatnya dari daerah Assam, India Selatan, dari suatu tempat yang bernama Asom.
Dilihat dari adat istiadat dan tradisi budaya orang Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan adat istiadat dan tradisi budaya Batak Karo maupun Batak Toba. Hal ini mengindikasikan kemungkinan besar suku Simalungun beserta suku Batak Karo dan Batak Toba berasal dari suatu tempat yang sama.

Orang Simalungun berbicara dalam bahasa Simalungun sebagai bahasa sehari-hari. Awal masuknya agama Kristen ke wilayah Simalungun di masa lalu, para penginjil RMG menggunakan bahasa Toba untuk menyebarkan agama Kristen pada masyarakat suku Simalungun. Pada umumnya orang Batak Simalungun bisa memahami bahasa Batak Toba, yang menjadi bahasa pengantar pada masa lalu di wilayah sekitar Danau Toba.

Rumah Bolon
rumah tradisional adat Simalungun
(jayalingga.blogspot.com)
Kepercayaan orang Simalungun di masa lalu adalah kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu" (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada 3 Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). Ketiga warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.

Dalam mitos orang Simalungun, dikatakan bahwa manusia awalnya dikirim oleh oleh Naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang bisa berdiam dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.

Kemungkinan di masa lalu, wilayah Simalungun pernah dimasuki tradisi Hindu atau Budha, hal ini terlihat dengan adanya beberapa peninggalan beberapa patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang terkait dengan Trimurti (Hindu) dan Buddha yang menunggangi Gajah.

Masyarakat Simalungun adalah patrilineal. Marga diturunkan kepada generasi berikutnya melalui pihak laki-laki. Orang yang memiliki marga yang sama adalah berarti sebagai saudara seketurunan sehingga dipantangkan (tidak diperbolehkan) untuk saling menikah.
Marga-marga pada suku Simalungun terdiri atas 4 marga asli, yaitu:
  • Damanik
  • Purba
  • Saragih
  • Sinaga
Keempat marga di atas berasal dari marga para Raja-Raja di Simalungun. Selain itu ada juga marga-marga yang berasal dari luar Simalungun yang sejak dahulu ikut menetap di wilayah adat Simalungun, kemudian menjadi sub-bagian dari 4 marga di atas.
Bagi pihak perempuan, marga disebut sesudah kata boru (biasa disingkat br.). Apabila perempuan Simalungun (mis: Maria boru Saragih), menikah dengan laki-laki bermarga Purba, maka ia akan dipanggil sebagai Maria Purba boru Saragih.

Masyarakat suku Simalungun juga memiliki aksara, seperti halnya etnik-etnik batak yang sebagian besar memiliki aksara. Aksara yang digunakan suku Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.

Dalam bertahan hidup, pada umumnya orang Simalungun hidup berkebun dengan berbagai macam tanaman dan pada tanaman padi ladang atau sawah. Padi sebagai makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi.

sumber:
  • protomalayans.blogspot.com
  • wikipedia
  • jayalingga.blogspot.com
  • dan beberapa sumber lain
lihat juga:
Read More...

Suku Batak Angkola

pakaian adat Angkola
Koleksi T.B. Silalahi Centre, Balige
(budaya-indonesia.org)
Suku Angkola atau Batak Angkola, adalah suatu suku yang berdiam tersebar di seluruh wilayah kabupaten Tapanuli Selatan, terutama di daerah Angkola termasuk Padang Sidimpuan di provinsi Sumatra Utara.

Orang Angkola merupakan suatu kelompok masyarakat dari etnis Batak, yang menurut cerita menduduki wilayah Angkola sejak berabad-abad yang lalu.
Nama "angkola" diyakini berasal dari nama sebuah sungai "Batang Angkola" yang berada di daerah Angkola. Dari cerita rakyat Angkola, bahwa sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola (1014 - 1044 M) yang berasal dari India Selatan, yang memasuki Angkola melalui daerah Padang Lawas.
Daerah Angkola terdiri dari 2 wilayah, yaitu sebelah selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah Utara diberi nama Angkola Julu (Hulu). Sepeninggal kekuasaan Radjendra Chola I, muncul seorang tokoh dari Tano Angkola, yang bernama Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe. Oppu Jolak Maribu ini mendirikan huta (kampung) pertama di daerah Angkola yang bernama Sitamiang. Berikutnya seperti Pargarutan yang artinya "tempat mengasah pedang". Tempat ini merupakan tempatnya menanggalkan hari, kalender batak dan lain-lain.

Setelah sekian lama masyarakat Angkola tumbuh dan berkembang di daerah Angkola, maka kemudian orang-orang dari suku-suku lain masuk segala penjuru hidup berbaur dan turut dalam adat-istiadat suku Angkola, tetapi ada juga kelompok yang tetap mempertahankan adat nya sendiri.

rumah adat Angkola (misnanlubis.blogspot.com)
Seperti etnis Batak pada umumnya, tradisi marga juga berkembang dalam masyarakat suku Batak Angkola. Marga-marga yang terdapat pada masyarakat Angkola adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Nasution, Ritonga, Batubara, Daulay dan lainnya.
Beberapa marga pada masyarakat Angkola terlihat masih memiliki kekerabatan dengan marga-marga yang ada suku Batak Toba dan Batak Mandailing. Secara sejarah suku Angkola ini masih berkerabat dengan suku Batak Toba dan Batak Mandailing. Saat ini suku Batak Angkola berkembang dan diakui sebagai suku tersendiri, karena mereka memiliki tradisi budaya dan bahasa sendiri.

Antara suku Batak Angkola dengan suku Batak Mandailing, dari segi budaya dan bahasa banyak terdapat kemiripan, sehingga antara orang Angkola dan orang Mandailing kadang agak susah dibedakan. Bahasa Angkola dilihat dari bahasa memang mirip dengan bahasa Batak Toba dan Bahasa Batak Mandailing, tapi perbedaan dapat dilihat dari intonasi dialek. Dialek orang Angkola terdengar lebih lembut dibanding bahasa orang Toba, tapi sedikit lebih tegas dan keras dibanding dialek orang Mandailing.

Orang Batak Angkola sebagian besar memeluk agama Islam yang pada sekitar tahun 1821 mendapat serbuan dari pasukan Padri dari Minangkabau yang menyebarkan Islam (maaf: dengan pedang) di bawah pimpinan Tuanku Lelo (Idris Nasution). Sebagian besar orang Angkola yang takluk dari pasukan Padri demi keselamatan harus memeluk Islam, sedangkan yang menghindar masuk ke pedalaman hutan-hutan tetap mempertahankan agama adat mereka.
Setelah beberapa tahun berlangsung kekuasaan Padri di tanah Angkola, maka masuk pasukan Belanda menaklukkan dan mengusir pasukan Padri dari Angkola. Masuknya Belanda ke wilayah ini membuat orang Angkola yang bertahan dari pengaruh Islam Padri memilih memeluk Kristen yang dibawa oleh para misionaris Belanda. Walaupun dalam masyarakat Angkola terdapat 2 agama yang berbeda, tapi kerukunan beragama sangat terjaga dengan baik dari dahulu hingga sekarang.

Orang Batak Angkola pada umumnya bertahan hidup sebagai petani, seperti pada tanaman padi di sawah maupun ladang. Mereka juga menanam berbagai jenis sayur-sayuran sampai tanaman keras seperti kopi arabica dan lain-lain. Memelihara ternak seperti ayam, bebek, angsa, kerbau dan sapi, merupakan kegiatan sampingan sebagai penambah penghasilan hidup.

referensi:
- http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-batak-angkola.html - foto: http://budaya-indonesia.org
- foto: http://minsanlubis.blogspot.com 
- http://wikipedia.org
dan sumber lain


lihat juga:
- marga Angkola 
Read More...

Horas!

Memiliki pengertian yang sangat luas.
Ucapan "horas" pada dasarnya adalah "salam".

Tapi "horas", juga memiliki fungsi lain, seperti pada pertemuan, perpisahan dan pesan.

Horas bisa juga sebagai ucapan berkat (doa restu) kepada yang menerimanya.
Istilah "horas", juga ada pada etnis Batak lainnya, seperti "Mejuahjuah" pada suku Karo, "Njuahjuah" pada suku Pakpak, "Yaahowu" pada suku Nias, dan pada beberapa suku Melayu Pesisir juga ada sebutan "Ahoi", semua pada dasarnya memiliki makna sama.
Pada suatu daerah Melayu di Sumatra Utara, ada sebutan "keras" apabila bertemu dengan teman, sanak saudara atau siapapun yang baru bertemu.

Rasa keakraban, dan rasa persaudaraan semakin terasa, apabila dalam suatu pertemuan kita mengucapkan "horas".

Beberapa makna kata "Horas", bisa juga berarti seperti di bawah ini:
  • salam
  • selamat
  • semoga
  • selamat datang
  • selamat tinggal
  • salam sejahtera
  • hidup
  • sehat
  • bahagia
  • sentausa
  • makmur
  • rukun
  • damai
  • sejahtera
  • kuat
  • keras

Dari beberapa makna di atas, semuanya tergantung situasi dan suasana yang ada dan selalu bermakna positif.

Horas!
Read More...

Bukan Batak Katanya !


Disadur dan diedit dari planetberita7.blogspot.com

Batak tapi bukan Batak Toba

Di beberapa media berita dan situs-situs tersedia di internet, akhir-akhir ini terjadi perdebatan dan polemik yang lucu. Melibatkan beberapa etnis yang selama ini dikelompokkan ke dalam kelompok Batak.
Beberapa kelompok etnis tersebut adalah suku Batak Karo, Batak Pakpak dan terakhir Batak Simalungun yang menyatakan berbeda dengan Batak. Sedangkan sebagian dari masyarakat suku Batak Mandailing duluan menyangkal disebut Batak.

Jadi, yang dimaksud dengan Batak itu siapa ? atau etnis mana ? atau seperti yang menurut anggapan bahwa yang disebut Batak itu adalah dari etnis Toba ? Padahal istilah "batta atau batak" sendiri telah ada sejak abad 1 ketika Pliny mendatangi pulau Andalas (Sumatra) untuk menyebut orang-orang yang hidup di pedalaman pulau Sumatra.

Selama ini memang tren nama Batak lebih sering diakui dari kalangan etnis Toba, Humbang, Silindung, Samosir dan Angkola. Apakah ini ada kaitannya dengan unsur "agama" yang selama ini orang Batak "mungkin" identik dengan Kristen. Sedangkan orang-orang Batak yang Muslim cenderung menolak disebut sebagai Batak bahkan malah menyebut diri mereka sebagai "Melayu", o mak! kacauwawau ni .. he he he.
Atau apakah Batak itu identik dengan orang Toba? atau karena istilah "Horas" lebih dikenal berasal dari Batak Toba? yang padahal etnis Batak lain juga memiliki istilah "horas" nya sendiri seperti "Mejuahjuah" dari Karo, "Njuahjuah" dari Pakpak dan "Jaahowu" dari Nias. Istilah "Horas" sendiri dimiliki oleh beberapa etnis Batak seperti Toba, Simalungun, Humbang, Silindung, Samosir, Angkola dan Mandailing.
Atau ada penyebab lain, yang membuat mereka menyatakan diri bukan Batak ?

Dari beberapa pendapat, mengatakan bahwa timbulnya gerakan "pernyataan bukan batak" tersebut diakibatkan karena selama ini etnis-etnis batak lain, sepertinya berada di bawah bayang-bayang suku Mandailing dan Toba, yang lebih dahulu malang melintang sejak zaman penjajahan yang memang sejak awal sudah mengaku "batak" di perantauan dengan membawa "horas" nya. Oleh karena itu etnis-etnis batak lain, tentunya ingin menunjukkan bahwa mereka pun ada, bukan hanya Toba dan Mandailing. Bukan hanya "horas", tapi ada "mejuahjuah", "njuahjuah" dan ada juga Ya'ahowu.
Ada pendapat lain, bahwa etnis-etnis batak di luar Toba tersebut memiliki cerita asal-usul sendiri yang berbeda dengan sejarah asal usul Pusuk Buhit yang merupakan cerita asal-usul orang Toba.

Satu hal yang menarik, dari tetangga provinsi Sumatra Utara, tepatnya di provinsi Nanggroe Aceh, seperti suku Alas dan suku Gayo bahkan Kluet, sebagian dari masyarakat mereka justru menyatakan bahwa mereka masih berkerabat dengan orang-orang Batak dari Sumatra Utara, walaupun secara budaya bisa dikatakan agak berbeda dengan budaya orang-orang Batak di Sumatra Utara, tapi secara sejarah asal-usul memiliki kekerabatan dengan orang-orang Batak di Sumatra Utara. Bahkan orang Nias yang punya tradisi dan sejarah berbeda dengan orang batak daratan, kadang-kadang pun mengaku sebagai orang batak di perantauan. Begitu juga, konon orang Lubu yang punya asal-usul berbeda dengan orang Batak pun, kalau di perantauan kadang mengaku sebagai orang Batak Mandailing, walau marganya mungkin saja dikarang-karang .. he he..
Dari isu-isu yang pernah beredar, orang Gayo dan Alas yang bermukim di provinsi Nanggroe Aceh, lebih suka bergabung dengan provinsi Sumatra Utara (maaf, cuma issue).

Jadi membuat kesimpulan bahwa suku Karo, Pakpak, Simalungun dan Mandailing bukan Batak, tentunya tidak gampang. Mungkin sah-sah saja tidak mengaku batak, tapi lebih tepat kalau disebut Rumpun Batak atau Batak Serumpun. Karena dilihat dari segala sesuatu yang paling mendasar adalah dari identiknya bahasa-bahasa yang digunakan, serta adat-istiadat yang memiliki banyak kemiripan. Dari marga (klan, belah), adat perkawinan, struktur dasar adat yang sama, aturan-aturan, karakter, struktur fisik, kepercayaan tradisional animismenya juga sama, bahkan dilihat dari gen pun pasti memiliki kesamaan yang kuat.

Soal mengaku atau tidak mengaku memang adalah hak dari setiap orang, kelompok, kaum, suku dan bangsa. Mau bilang batak atau bilang bukan batak juga tidak ada yang melarang. Kalo kata orang Medan "sukak-sukak koulah, mo cakap apa!"

Soal tidak mengaku "batak" ini tidak mungkin ada dalam pikiran semua orang Karo, atau Pakpak, atau Simalungun ataupun Mandailing misalnya. Karena kenyataan yang terjadi saat ini pada dasarnya sebagian besar orang Karo, Pakpak, Simalungun dan Mandailing tetap mengaku sebagai orang "Batak".
Semua perdebatan ini hanyalah berawal dari segelintir orang (yang pande ngompor), atau penulis yang punya trek pikiran "berbeda" atau ingin disebut "berbeda" atau jangan-jangan mengidap paranoid dia itu. Selain itu hal ini bisa juga sengaja dimunculkan oleh kelompok etnis di luar rumpun batak, yang menulis di forum, media, bahkan di situs-situs tersedia di Internet, dengan berusaha membelokkan opini orang agar mengikuti apa yang terpikirkan oleh si penulis "berbeda" itu.

Apabila hal ini terjadi, maka semakin melemahkan persatuan rumpun batak yang selama ini sangat kuat dalam persatuan sejak dari masa kuno hingga beberapa tahun terakhir ini, harus terpecah belah akibat provokasi atau politik dari segelintir orang.
Seharusnya orang-orang Batak belajar dari orang Dayak yang punya lebih dari 500 suku yang tersebar di berbagai provinsi di Kalimantan bahkan sampai ke Malaysia dan Filipina, walaupun berbeda-beda agama, Kristen, Islam, Kaharingan dan animisme, bahasa yang berbeda-beda, serta mitos asal usul yang juga berbeda-beda. Tapi tetap bangga menyebut diri mereka sebagai Dayak. Salut!

Jadi Karo bukan Batak, Pakpak bukan Batak, Simalungun bukan Batak, Mandailing bukan Batak, yang pastinya itu berasal dari "politik pecah belah" dari etnis di luar rumpun Batak yang lihai memainkan kata-kata cantik indah menawan dan rupawan untuk memecah belah orang Batak Serumpun.
Seandainya pula suatu saat nanti orang Toba, Humbang, Silindung, Samosir dan Angkola ikut-ikutan mendadak tidak mengaku Batak juga, cemana pulak jadinya? siapa pulak itu orang Batak? he he he ... alamak jang kacau kali laa ... oii!

Kata kawan saya (mantan reman di simpang kuala, padang bulan Medan katanya .. hehe, sekarang penjual BPK) "sapa pulak cakap macam itu! tak osah lah kam bepikir aneh-aneh camgitu, stedi nya kita smua kalak batak ini!".

Apabila perpecahan ini terjadi, maka yang bukan ras batak lah yang akan merajai. Dan orang-orang Batak? jadi penonton lah kau nak! ... ckr?
Read More...

Suku Batak Alas

orang Alas
Suku Batak Alas atau suku Alas, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di kabupaten Aceh Tenggara.  Suku Alas walaupun berada di provinsi Nanggroe Aceh, tapi secara sejarah mereka lebih dekat dengan suku Gayo dan suku Singkil dan suku-suku Batak dari wilayah provinsi Sumatra Utara. Orang Batak Alas menyebut wilayah adat pemukiman mereka sebagai Tanah Alas. Sedangkan orang Alas menyebut diri mereka sebagai Kalak Alas atau Ukhang Alas.

Menurut cerita dari Tanah Gayo, suku Alas merupakan pecahan dari suku Gayo, karena nenek moyang orang Alas dikatakan berasal dari kabupaten Gayo Lues. Oleh karena itu, orang Gayo sering menyebut suku Alas ini sebagai suku Gayo-Alas. Menurut dugaan kata "alas" berasal dari bahasa Gayo yang berarti "tikar". Pemberian nama ini dikaitkan dengan keadaan wilayah pemukiman orang Alas yang terbentang luas seperti tikar terkembang di sela-sela Bukit Barisan.

Sedangkan menurut orang Singkil, bahwa orang Alas berasal dari daerah Singkil, kabupaten Aceh Selatan, yang ditandai dengan adanya tari Alas yang sama dengan tarian dari daerah Singkil. Dalam bahasa Singkil, "Alas" diartikan sebagai "pembukaan".
Pendapat lain berasal dari suku Kluet, dikatakan bahwa bahasa dan beberapa mergo (marga) yang dipakai orang Alas mirip dengan bahasa atau mergo yang dimilikin oleh suku Kluet di Kluet Utara dan Hulu Singkil.

Namun, menurut orang Alas, bahwa mereka memiliki bahasa dan budaya sendiri yang berbeda dengan suku Gayo, Singkil maupun Kluet. Suku Alas berbicara dalam bahasa sendiri yang disebut bahasa Alas, walaupun bahasa Alas sebenarnya banyak mendapat pengaruh dari bahasa Gayo maupun Singkil. Selain dengan bahasa Gayo dan Singkil, bahasa Alas memiliki kekerabatan dengan bahasa Karo dan Pakpak. Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Alas diklasifikasikan sebagai salah satu cabang dari rumpun keluarga bahasa Batak. Sedangkan dari tradisi dan budaya, orang Alas memiliki budaya sendiri, seperti permainan rakyat, upacara tradisional maupun cerita-cerita rakyatnya.

Menurut para peneliti bahwa suku Alas merupakan salah satu etnik dalam rumpun Batak, beserta suku Pakpak, Karo, Toba, Kluet dan lain-lain. Walaupun secara tradisional mungkin orang Alas tidak terlalu merasa sebagai orang Batak. Diperkirakan suku Alas ini hadir di wilayah ini pada gelombang pertama kelompok Proto Malayan yang menyebar di Tanah Alas sekarang ini.
Suku Alas walaupun berada di provinsi Nanggroe Aceh, secara tradisi, budaya, bahasa dan struktur fisik, berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di wilayah ini.

Sejak abad ke-18 dan 20 penduduk Tanah Alas dimasuki arus migrasi dari Gayo Lues, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing dan China. Karena sebagian besar para pendatang ini memiliki marga-marga sebagai identitas, maka masyarakat suku Alas kembali menampilkan marga-marga mereka untuk membedakan mereka dengan suku-suku pendatang tersebut. Marga (Merge) yang terdapat pada masyarakat Alas antara lain adalah Selian, Sekedang, Beureueh, Pinem, Mahe, Acih, Seucawan, Ramut, Deski, Klieng, Sambo, Bangko dan lain-lain.

rumah tradisional suku Alas
(ubaiselian.blogspot.com)
Gampong atau desa dalam orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya anak mewarisi nama marga dari keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge (jodoh harus dicari di merge lain).

Masyarakat suku Alas mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka menjalankan syariat agama Islam dengan taat. Pengaruh Islam sangat kuat dalam kehidupan masyarakat suku Alas. Beberapa kesenian suku Alas terlihat banyak dipengaruhi oleh budaya Islam.

suku Alas di masa lalu (sekitar tahun 1900an)
(jv.wikipedia.org)
Kabupaten Aceh Tenggara, yang merupakan wilayah pemukiman suku Alas berada di dataran tinggi Bukit Barisan, dilalui banyak sungai, salah satunya adalah Lawee Alas (sungai Alas). Selain itu seni budaya, kabupaten Aceh Tenggara juga memiliki kekayaan budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu. Tari Saman yang menjadi tarian utama suku Alas, juga dimiliki oleh suku Gayo dan suku Singkil.

Seni perang adat Alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan. Sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walau sudah jarang yang bisa memainkannya.

Tanah Alas tercatat dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka penduduk ini masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.
Menurut Kreemer (1922:64) kata “Alas” berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan. Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama Raja Lambing, keturunan dari Raja Lontung atau cucu dari Guru Tatea Bulan dari Samosir Tanah Batak Toba. Guru Tatea Bulan adalah saudara kandung dari Raja Sumba. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah merupakan orang tua dari Raja Borbor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempunyai 7 orang anak yaitu, Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang dikenal dengan siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, Solin di Dairi, Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas dan Kluet di Aceh Selatan. Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari 3 bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim. Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo. Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; Sebayang 1986:17). Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya), yang bernama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberi nama Alas dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.
Kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat Raja Lambing tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Awal kedatangan Malik Ibrahim melalui pesisir bagian timur (Pasai) masih memegang tradisi matrilineal, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak keturunannya menetapkan garis keturunan mengikuti merga pihak Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas.
Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul kerajaan lain yang dikenal dengan Sekedang dengan basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal kehadirannya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu Raja Dewa yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yaitu bernama Nazarudin yang dikenal dengan panggilan Datuk Rambut yang datang dari Pasai. Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian Barat laut Batumbulan yaitu Terutung Pedi, lalu hadir juga kelompok Selian, dan datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi merga Munthe, Pinim dan Karo-Karo. Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula merga Deski yang bermukim di kampong ujung barat.
Terlepas dari cerita di atas, ada suatu cerita lain yang mengatakan bahwa marga pertama di Tanoh Alas adalah Pagan Sinambela.

Masyarakat suku Alas memiliki kesenian yang menarik, beberapa kesenian memiliki kesamaan dan kemiripan dengan kesenian masyarakat suku Gayo, yaitu:
  • Tari Saman
  • Pelebat
  • Mesekat
  • Landok Alun
  • Vokal Suku Alas
  • Canang Situ
  • Canang Buluh
  • Genggong
  • Oloi-oloi
  • Keketuk layakh

Kerajinan Suku Alas, adalah:
  • Nemet (mengayam daun rumbia)
  • Mbayu amak (tikar pandan)
  • Bordir pakaian adat
  • Pande besi (pisau bekhemu)
  • dan masih banyak lagi

Makanan Tradisional, adalah:
  • Manuk labakh
  • Ikan labakh
  • Puket Megaukh
  • Lepat bekhas
  • Gelame
  • Puket Megaluh
  • Buah Khum-khum
  • Ikan pacik kule
  • Teukh Mandi
  • Puket mekuah
  • Tumpi

Masyarakat suku Alas sebagian besar berada di pedesaan, bermatapencaharian dari pertanian dan peternakan. Orang Alas memiliki kehidupan pertanian yang baik, terutama pada tanaman padi. Tanaman padi menjadi kegiatan utama orang Alas. Oleh karena itu Tanah Alas menjadi daerah lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi Arabica dan kemiri, serta memanfaatkan hutan untuk mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Beberapa hewan ternak seperti bebek, ayam, kuda, kambing, kerbau dan sapi juga menjadi kegiatan tambahan mereka.

situs terkait:
  • http://protomalayans.blogspot.com/2012/07/suku-alas.html
  • http://www.misi.sabda.org/alas-indonesia 
  • http://ubaiselian.blogspot.com/2012/05/aceh-tenggara-tempo-doeloe.html
  • http://jv.wikipedia.org/wiki/Gambar:Suku_Alas.jpg
post terkait:
Read More...