Batakhaus; Rumah Adat Batak Berdiri Megah di Jerman

Ada Rumah Adat Batak di Jerman
Batakhaus
Rumah adat Batak di Werpeloh, Jerman. (Ideaonline.co.id, panoramio.com)
Tak hanya ada di Indonesia, rumah adat Batak pun eksis di Werpeloh, Jerman. Jika di Indonesia rumah adat ini biasa disebut dengan istilah Rumah Bolon, di Jerman rumah ini disebut Batakhaus. Batakhaus sendiri telah berdiri sejak tahun 1978 atas inisiatif pastor Matthaus.

Sama seperti dengan Rumah Bolon di Indonesia, Batakhaus juga memilik bentuk persegi empat dan seperti rumah panggung. Ya, bagian depan rumah - tepat terletak di tengah-tengah badan rumah terdapat tangga yang menjadi akses untuk masuk ke dalam rumah.

Lalu, rumah adat Batak di Jerman ini juga ditopang oleh tiang-tiang penyangga. Uniknya, atap rumah berbentuk pelana kuda. Ornamen pada rumah pun merujuk ornamen yang sering digunakan oleh etnis Batak Toba.

Rumah Batak di musim salju, pemandangan yang indah
Batakhaus di Jerman (Ideaonline.co.id, panoramio.com)

Rumah dibagi menjadi 3 zona, yaitu atas, tengah, dan bawah. Bagian atas untuk roh leluhur, bagian tengah untuk keluarga, dan bagian bawah untuk hewan peliharaan. Material yang digunakan untuk membangun Batakhaus berasal dari bahan setempat seperti batu Hümmlinger, dinding dari kayu ek, dan ilalang untuk atap.

Walaupun begitu, Batakhaus ini pun sama dengan “nenek moyang”-nya di Indonesia. Rumah yang satu ini memang bukan untuk rumah tinggal. Sekarang, rumah adat Batak ini dijadikan sebagai museum dan objek wisata setempat.
Orang Batak pun harus bangga , karena yang terkenal di luarnegeri tidak hanya Bali, tapi budaya Batak pun ternyata sangat menarik perhatian bangsa-bangsa lain di dunia. Otomatis Indonesia pun ikut terkenal dan berbangga hati ketika melihat budayanya go internasional . Tapi, hal ini jangan menjadikan kita lengah! Sebagai anak bangsa, sudah sepatutnya kita menjaga “permata” dari Indonesia.

source:
- IdeaOnline.com- http://nationalgeographic
Read More...

Jejak Parmalim di Medan

Ini sepenggal fakta tentang perjuangan sekelompok kaum minoritas agar diakui kepercayaannya. Jauh sebelum sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, mereka penganut agama Parmalim telah bereksistensi.

Penganut Parmalim jumlahnya relatif kecil. Saat ini di Kota Medan, ada sekitar 600 orang. Mereka terus gigih berjuang agar eksistensinya tidak hilang. Ironi memang, 63 tahun lamanya Indonesia merdeka dan sudah selama itu pula Undang-Undang Dasar menjamin kebebasan beragama; tapi sampai kini mereka belum bisa menikmati kemerdekaan berkeyakinan. Mereka bahkan sudah seperti suatu komunitas suku tersendiri yang setia  menjalankan keyakinan mereka.
Tapi, semangat penganut Parmalim tidak padam. Berjuang bagi penganut Parmalim bukan hal baru. Tercatat tokoh besar yang juga menjadi penganut Parmalim adalah pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja XII pejuang yang gigih menentang agresi Kolonial.
Sebenarnya, Undang-undang No 23 Tahun 2006 telah memberikan kesempatan kepada Parmalim untuk dicatatkan sebagai warga Negara melalui kantor catatan sipil, namun sayangnya mereka tidak diberi kesempatan menuliskan identitas sebagai Parmalim di Kartu Tanda Penduduk sehingga harus memilih nebeng dengan agamaA, B, C, D atau E. Kasihan juga, padahal merekalah tuan rumah agama di sumatra utara.
Nasib penganut Parmalim juga semakin tersingkir. Masyarakat khususnya Batak masih menganggap Parmalim aliran sesat. Bahkan, lembaga formal agama masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak sesuai dengan jalan kebenaran Tuhan, menyembah berhala (paganisme) dan sebagainya.
Parmalim adalah kepercayaan pertama orang Batak sebelum masuknya agama lain ke kawasan Tapanuli. Pimpinan Parmalim saat ini adalah RAJA MARNANGKOK NAIPOSPOS. Mereka tak punya rumah ibadah, atau disebut dengan RUMAH PARSAKTIAN. Persembahyangan masih dilakukan di rumah salah pimpinan Parmalim.
Pada 2005 lalu, sebetulnya pengangut Parmalim berencana membangun Ruma Parsaktian di Jalan Air Bersih, Ujung Medan. Tapi rumah itu gagal dibangun karena ada penolakan dari warga sekitar.
Pembangunan Ruma Parsaktian tak ayal terbengkalai. Rumah seluas dua kali lapangan bulu tangkis itu dikotori alang-alang, di dalam dan luarnya. Tembok yang sempat dibangun sebagian rubuh. Bahkan pembangunan gedung yang sebetulnya sudah 70 persen selesai itu, sebagian atapnya sudah terlihat copot.

AJARAN-AJARAN PARMALIM.
Budaya Batak sejak dulu sudah memiliki penanggalan istimewa. Hari dihitung setiap bulan sebanyak 29 dan 30 hari yang dihitung atas dasar pengamatan terhadap “parlangitan” siklus bulan dan bintang.
Masing-masing hari beda sebutannya. Dimulai hari pertama yaitu… 1. Artia 2. Suma 3. Anggara 4. Muda 5. Boraspati 6. Singkora 7. Samisara 8. Artia ni Aek 9. Suma ni Mangadop 10.Anggara Sampulu 11. Muda ni mangadop dan seterusnya.
Bulan terakhir setiap tahun dinamai HURUNG (KURUNG) dan hari ke 29 setiap bulan juga disebut Hurung. Setiap hari “hurung” setiap bulannya biasanya dihindari kegiatan yang diharapkan akan berkembang, misalnya menjemput ternak untuk peliharaan, tabur benih, melakukan acara pengesahan perkawinan dan sebagainya.
Mereka biasanya melakukan pendekatan terhadap TUHAN atau disebut DEBATA MULAJADI NABOLON yang artinya pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi alam semesta.
Pendekatan terhadap Tuhan biasanya memuncak pada akhir bulan saat dilaksanakan pensucian diri. Setiap bulannya pada hari “hurung” ini manusia akan “ringkar” artinya keluar dari keterkungkungan.
Pada setiap akhir tahun mendapat perhatian yang lebih khusus. Umumnya kegiatan secara total dihentikan. Tidak melakukan tanam benih, tidak melakukan transaksi dagang, tidak saling memberi dan menerima sesuatu barang untuk usaha pengembangan. Tidak melakukan “parhataan” pembahasan atas semua aspek kehidupan bersama. Mereka melakukan kegiatan sendiri, menyendiri dalam kegiatan satu keluarga. Mereka membatasi diri dari hubungan duniawi. Hal ini disebut “MARSOLAM DIRI”, membatasi diri dari hal keduniaan.
Tujuan hidup manusia adalah menuju kepada TUHAN, “SUNDUNG NI HANGOLUAN” adalah ujung dari tujuan kehidupan. Arti kehidupan digambarkan dengan “HARIARA SUNDUNG DILANGIT” yang biasa diukirkan pada sisi rumah Batak, yang mengartikan pohon kehidupan yang tajuknya semakin mengerucut kearah “atas” sebagai simbol keberadaan.
Sejak tahun 1910, penganut Parmalim memperingati “NAPAET”. Napaet arti harafiahnya adalah gabungan dari tumbuhan yang mengandung pahit, asam, pedas, kelat dan asin.
Napaet adalah simbol penderitaan para pengikut Parmalim. Napaet juga merupakan upaya mereka menegakkan hukum kebenaran. Dua bagian pengertian khusus Napaet.
Pertama , karena kesetiaannya mengikuti ajaran Parmalim sehingga sering mengalami penindasan oleh orang-orang disekitarnya, terfitnah dan dituding “sesat”. Kedua, adalah akibat dari kesalahannya sendiri terhadap hukum yang telah ditegakkan parmalim, yang melakukan tindakan yang dapat merusak keutuhan alam semesta dan tatanan kemanusiaan. Ini disebut “dosa”.
Dosa harus dimohonkan pengampunan kepada Tuhan pada akhir tahun, bulan dan hari hurung. Napaet dijalani dengan berpuasa. Tidak mengkonsumsi makanan 24 jam sehingga perilaku ini disebut “MARSOLAM DIRI”, atau membatasi diri dari tuntutan duniawi.
Setelah puasa, hari berikutnya adalah melaksanakan “RINGKAR” menerima anugerah Tuhan berupa ampunan. Pada hari itu penganut Parmalim mengkonsumsi “MANGAN NATONGGI”. Yaitu makanan makanan yang manis-manis secara bersama-sama untuk mengekspresikan kebahagiaan.
Hari Raya Batak adalah PAMELEON BOLON. Yang artinya mengucap syukur Kepada MULAJADI NABOLON atas anugrah sepenjang tahun yang diberikan. Yaitu pada bulan “SIPAHAOPAT” saat penduduk sudah selesai memetik hasil panen. Persembahan akbar disiapkan. Raja lah yang menetapkan hari raya tersebut. Makanan yang dihidangkan di antaranya: Kerbau pilihan yang memiliki empat pusar dan tanduk melingkar, gemuk dan tegar.
Pada saat itu, tokoh agama menghaturkan rasa terima kasih kepada MULAJADI NABOLON menghaturkan sembah, mengucap syukur atas anugrah sepenjang tahun. Kaum parmalim menghantar sajian yang ditata diatas “LANGGATAN” altar persembahan. Diiringi tarian berirama musik tradisi.
KESIMPULAN
Parmalim adalah kepercayaan asli etnis Batak yang hingga kini masih eksis. Kepercayaan asli etnis Batak itu, sangat dekat hubungannya dengan tradisi dan simbol-simbol agama. Parmalim bisa jadi merupakan ajaran yang usianya sudah ribuan tahun dan mengalami asimilasi dan difusi dengan agama-agama lain.
Tercatat saat ini penganut kepercayaan Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara keagamaan. Dari 360 dukun itu, separuh di antaranya (180 orang) menggunakan bacaan pembuka dan penutup mantra (tabas). Pembukaan mantra di antaranya; “BINSUMILLAH DIRAKOMAN DIRAKOMIN” dan penutupnya “YASA YASU YAUSA.”
Dalam sejarah disebutkan Raja pertama beretnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I yang berkuasa sekira tahun 1550 M. Kekuasaannya hingga ke Aceh dan Minangkabau. Sisingamangaraja I merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta merupakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus.
Sisingamangaraja I itu mendirikan kerajaan baru berpusat di Bakkara. Antara Barus dan Bakkara terjadi hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya jalan menghubungkan kedua kerajaan itu.
Dalam menjalankan pemerintahannya Sisingamangaraja I berpedoman pada sejumlah pegangan spiritual bernuansa monotheistis. Misalnya, menyucikan diri, tidak memakan darah dan daging yang tidak disembelih (mate garam). Tidak menenggak minuman yang memabukkan.
Ada beberapa alasan kenapa Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli itu kian meredup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak modern.
Kedua, kebijakan pemerintah dan agama-agama yang mendominasi di tanah air tidak memberi ruang bagi eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.
Sebagai sebuah warisan budaya spiritual masa lalu di negeri ini, Parmalim seharusnya dipandang sama dengan aliran-aliran kepercayaan yang ada. Berilah ruang lebih terbuka kepada penganut Parmalim menunjukkan eksistensinya di tengah pergaulan antar pemeluk agama. Semestinya toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul prasangka toleransi beragama digunakan untuk kepentingan sempit agama tertentu saja. Mungkin baik juga kalau penganut agama Parmalim ini diberi kebebasan bragama selayaknya agama lain.

http://ilmupelet-asmara.blogspot.co.id/2014/03/suku-parmalim-yang-terasingkan.html
Read More...

Raja Toba, Raja Batak Yang Sebenarnya

Mengejutkan ketika membaca beberapa situs halak Batak, menegaskan Raja Toba sudah ada 5 ribu tahun sebelum si Raja Batak yang selama ini diyakini sebagai nenek moyang orang Batak. Dikatakan bahwa ditemukan bukti bahwa sejak 6500 tahun yang lalu di Humbang telah banyak terjadi aktifitas manusia. Dalam buku “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia” oleh Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m dpl), yang diduga para imigran dari berasal dari berbagai tempat dari Hindia Belakang, seperti India dan Indochina. Dengan beberapa penemuan yang dijelaskan dalam blogsite " sopopanisioan.blogspot.com".

Dari penelitian yang dilakukan oleh Peter Bellwood tersebut menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan di Humbang sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba.
Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang. Mereka itu datang dari pesisir timur Sumatera bagian Utara yang telah dilakukan beberapa kali penelitian arkeologi prasejarah di beberapa tempat mulai dari Serdang dekat Medan sampai Lhok Seumawe (ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula, 2015:21-24). Mereka ini banyak dan penulis namakan mereka dengan nama "King of Toba" (Si Raja Toba), karena "dia" lah yang menurunkan Orang Toba. Jadi, Si Raja Toba bisa berarti banyak figur, dan mereka itu lah yang menurunkan Orang Toba terbukti dari dnanya. Hanya  sayangnya tidak terungkap siapa "mereka" yang disebut si Raja Toba tersebut. Si Raja Toba yang sudah ada sejak 6500 tahun yang lalu bisa berasal dari berbagai tempat, seperti dari India Selatan, Indochina (Thailand, Burma, Vietnam, Kamboja dan Formosa) , China Selatan, Mongolia, Manchuria, dan lain-lain, bahkan bisa juga pecahan suku Israel yang akhirnya bertemu di Humbang, membangun sosial masyarakat, adat-istiadat, tradisi-budaya dan kepercayaan baru di tempat baru mereka ini. Dari hasil ini dipastikan bahwa orang BatakToba jauh lebih tua dari si Raja Batak yang baru berumur 800 tahun tersebut. Agak membingungkan memang, karena selama ini orang batak, khususnya sebagian orang Batak Toba sangat percaya bahwa si Raja Batak adalah nenek moyang mereka, padahal sangat tidak masuk akal bahwa si raja Batak yang baru berumur sekitar 600-800 tahun bisa menjadi nenekmoyang orang Batak, yang sebenarnya orang Batak sendiri telah ada di Sumatra sejak 75000 tahun yang lalu menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas dari AS dan Australia yang terekam di National Geographic. Sedangkan dari penelitian terakhir yang dilakukan oleh Peter Bellwood, bahwa orang Toba diyakini telah ada sejak 4500 tahun Sebelum Masehi (sekitar 6500 tahun yang lalu). Jadi siapa nenek moyang orang Toba ketika 6500 tahun yang lalu ? pastinya bukan si Raja Batak. karena si Raja Batak baru ada pada tahun 1300 Masehi, bahkan kalah tua dari si Raja Lambing yang hidup di tahun 1200 Masehi yaitu nenek moyangnya orang Alas yang katanya keturunan ke-8 si Raja Batak juga. aneh ya ! Ini membuktikan cerita si Raja Batak pastilah hanya mitos belaka, mungkin semacam ajaran kepercayaan yang diciptakan Guru Tatea Bulan, yang statusnya mungkin setara dengan pendeta atau bahkan profesor pada masa beratus-ratus tahun yang lalu.
Oleh karena itu Si Raja Toba lah yang lebih bisa dipercaya sebagai opung moyang nya orang Toba.
cemana!? Ce Ka Er ?

Read More...

Kesamaan Suku Naga India-Burma dengan Beberapa Suku Tua di Indonesia

Dalam sumber asli pembahasan mencakup persamaan antara suku Naga di India dan Burma dengan suku Laut Selatan (Filipina, Indonesia, Malaysia dan Taiwan), tapi di sini kita hanya membahas tentang kesamaan antara suku Naga yang ada di India dan Burma dengan suku-suku yang ada di Indonesia (Batak, Dayak, Toraja dan Bugis).

Kemiripan antara suku Naga dengan suku di Indonesia (Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan), Malaysia (Sabah, Sarawak) dan Brunei
perempuan Naga
dari suku Yimchunger
source: wikipedia
perempuan Naga
dari suku Sumi
source: wikipedia
salah satu tarian suku Naga
"Bamboo Dance"
pada Festival Horbill
source: deccanchronicle
Studi perbandingan Naga di India, Myanmar dan Thailand dengan beberapa Masyarakat Adat Indonesia, Malaysia (Sabah, Sarawak) dan Brunei, menunjukkan kesamaan mereka dalam kehidupan sosial-budaya mereka. Orang Naga percaya bahwa sebelumnya orang Naga tinggal di Chindwin dan lembah Irrawady sebelum mereka bermigrasi ke Naga Hills.
Mereka juga percaya bahwa mereka tinggal di dekat pulau atau laut selatan wilayah pesisir dan mundur ke barat utara Myanmar dan kemudian bermigrasi ke Naga Hills. Sedangkan kelompok Naga lainnya melangkah lebih jauh ke laut selatan Malaysia, Indonesia, Taiwan dan Filipina.
Banyak pihak berwenang di Naga menyarankan bahwa adat dan tradisi Naga sangat mirip dengan orang-orang suku di Laut Selatan (Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan dll) dalam banyak aspek.
Kebiasaan dan tradisi praktek oleh Naga seperti pengayauan, sistem asrama, tatto, tradisi pemakaman, tenun, persawahan dan lain-lain mirip dengan suku-suku di Laut Selatan. Mc Govern menulis bahwa Naga sangat mirip dengan suku Dayak dan Kayan Kalimantan, Batak Sumatera dan kelompok tertentu Formosa (Taiwan) dan beberapa kelompok lainnya di Filipina.

Beberapa penulis lain seperti, WC Smith, Barrows dan Shakespeare, menggambarkan kedekatan dari Naga dengan suku-suku dari Malaysia, Kalimantan, Filipina dan Sumatera.
WC Smith otoritas dari Naga juga menunjukkan kesamaan antara Naga dan Dayak Kalimantan (Borneo).

Afinitas antara Naga dan suku di Indonesia
Ada beberapa afinitas antara suku Naga dan beberapa masyarakat adat di Indonesia. Beberapa suku di Indonesia seperti Batak, Dayak, Toraja, Bugis dan beberapa lainnya memiliki beberapa kemiripan dalam adat istiadat dan tradisi dengan orang-orang Naga. Pengayauan, struktur rumah dan struktur sosial mirip dengan suku Naga di India.

Batak
Ada enam kelompok Batak yang tinggal di sekitar Danau Toba yang membedakan diri dengan bahasa mereka dan habitatnya.Orang Naga dan orang Batak sejajar dalam tradisi dan adat istiadat mereka. Kedua suku itu terkenal dengan praktek "pengayauan" mereka. Mereka diisolasi selama berabad-abad dari kontak lain yang tinggal di daerah perbukitan.
"Batak, adalah suku terkenal di Indonesia, mantan kanibal dan headhunter permusuhan berdarah mereka dan serangan gerilya di desa masing-masing memperoleh reputasi tampaknya baik untuk keganasan. Mereka juga mempraktekkan kanibalisme ritual di masa lalu di mana sepotong tanda daging dari musuh dibunuh atau salah tawanan perang yang melakukan pelanggaran besar pada hukum adat -. bagian tubuhnya dimakan sedangkan bagian kepala dan tangan diawetkan sebagai piala ".
Orang Batak yang mengawetkan kepala korban perang sebagai piala sama seperti suku Naga. Pada masa itu, reputasi manusia atau kedewasaan yang mengungkapkan melalui keterampilan pengayauan mereka dan keberanian. Mereka dibagi menjadi suku yang berbeda, yang sebelumnya rentan terhadap perang internal yang menuntut adat pengayauan. Meskipun, mereka sekarang sebagian besar menjadi Kristen, budaya mereka mempertahankan banyak kekuatan asli mereka.
Kain tenun, rumah adat dengan kepala kerbau atau tanduk kerbau di atap rumah, juga sangat mirip dengan apa yang dimiliki suku Naga di India atau Burma.

Dayak
Secara tradisional, orang Dayak tinggal di "Rumah Panjang" komunal dikenal sebagai "Lamin" atau "Ruma Betang" di Kalimantan. Rumah panjang biasanya dibangun sejajar dengan sungai, dan lumbung padi dan gudang yang berisi berharga disimpan terpisah dari bangunan utama, untuk menjauhkan diri dari api. Dalam sebagian besar desa Naga, ada rumah yang terpisah seperti suku Dayak untuk hidup dan gudang.

Bugis
Bugis di Sulawesi Selatan, secara tradisional tinggal di rumah kayu dibangun dengan lantai bambu slatted mirip dalam gaya dan tata letak untuk prototipe dasar Melayu. Fitur dekoratif karakteristik adalah sepasang finials atap melambangkan tanduk kerbau.
Beberapa suku Naga juga tinggal di rumah seperti rumah Bugis. Struktur rumah tua Naga sangat mirip dengan rumah tua Bugis, yang memiliki sepasang atap menyeberangi melambangkan tanduk kerbau. Naga yang melakukan 'Pesta Merit' memiliki semacam struktur rumah dengan diagonal melintasi balok kayu, yang melekat pada atap rumah melambangkan tanduk kerbau.
Rumah dengan diagonal melintasi balok kayu di atas atap secara bertahap menghilang di desa-desa Naga digantikan bangunan rumah modern. Ada satu Gereja di Senapati, Manipur di mana kita dapat menemukan struktur rumah Naga tua dengan diagonal melintasi balok beton ditempatkan di atas atap melambangkan tanduk kerbau.

Toraja
Tana Toraja terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan. Agama asli mereka megalitik dan animisme, dan ditandai oleh hewan kurban, upacara pemakaman mewah dan pesta komunal besar.
"Pada zaman dulu, desa Toraja yang berlokasi strategis di puncak bukit dan diperkaya sedemikian rupa bahwa kadang-kadang akses hanya mungkin melalui terowongan melalui batu. Ini semua bagian dari adat Indonesia maka umum pengayauan. Belanda memenangkan Toraja dan memaksa mereka untuk meninggalkan bukit-bukit dan membangun desa mereka di lembah-lembah, dan mereka juga memperkenalkan budidaya sawah".
Naga desa juga terletak di puncak bukit dan diperkaya dalam waktu kuno untuk melindungi dari serangan musuh mereka. Ada mengayau antara antar desa dan suku sehingga menjadi penting bagi mereka untuk membentengi dan memiliki gerbang desa di semua desa. Dalam kasus Naga, Inggris menenangkan mereka dan kemudian tidak ada pengayauan. Di bagian depan dinding di sebagian besar rumah yang penting Toraja yang dihiasi dengan kepala kerbau kayu, dihiasi dengan Tanduk.
Dalam sebagian besar rumah di desa-desa Naga juga memiliki dekorasi yang sama seperti rumah-rumah Toraja dengan tanduk kerbau kayu berukir dan tanduk kerbau nyata digantung di depan dinding. Jumlah kerbau yang nyata tergantung di dinding depan tergantung pada berapa banyak ternak tewas selama Hari Raya Merit. Tapi tanduk kayu lainnya diukir yang tergantung pada pahatan dan dirancang dari pemilik rumah. Tanduk kerbau kayu yang diukir dan tanduk kerbau nyata tergantung di dinding depan rumah masih ditemukan di banyak desa Naga.

Afinitas antara orang Naga dan etnis Dayak di Malaysia
Orang Iban juga dikenal sebagai Sea Dayak merupakan kelompok terbesar dengan total populasi 6 juta, yang merupakan 29,1% dari total populasi negara. Seperti Melayu, orang Iban adalah dari Proto Malayan; asal mereka ditelusuri kembali ke Yunnan China. Tradisi Naga dan adat istiadat memiliki kedekatan dengan beberapa suku Malaysia dalam banyak aspek. Iban, terkenal sebagai yang paling menakutkan dari headhunter Kalimantan itu,
"Tidak begitu lama di masa lalu bahwa Iban merayakan kepala hasil tangkapan dengan festival besar yang disebut Gawal Kenyalang (festival Hornbill). Mereka percaya bahwa kekuatan magis dari kepala akan membawa kekuatan, kebajikan dan kemakmuran ke rumah panjang".

Peter Kunstadter yang mempelajari suku Asia Selatan juga disebutkan tentang pengayauan di Sarawak dan sisanya dari Kalimantan, "Ini semua terikat dengan tradisi masa lalu pengayauan dan agresi dan warlikness, yang sangat banyak bagian dari animisme di antara bukit bangsa Sarawak dan sisanya dari Kalimantan". Alasan atau tujuan pengayauan oleh Iban sangat mirip dengan Naga.

Naga mengambil kepala untuk mengungkapkan kejantanannya juga, mereka percaya bahwa membawa kepala ke desa mereka akan membawa kemakmuran di desa. Naga memiliki keyakinan mereka sendiri tentang nilai kepala manusia.Mereka percaya bahwa kepala mereka yang termasuk desa-desa lain selain mereka sendiri akan menambah kesuburan tanah. Intervensi Inggris pada Naga setelah tahun 1832 dan pengenalan Kristen membawa pengentian praktek pengayauan. Mereka tidak lagi melakukan praktek pengayauan tetapi tengkorak manusia masih tergantung di rumah Naga tua yang msih bisa ditemukan di beberapa desa-desa terpencil.

Sedangkan Iban saat ini tidak lagi headhunter, dan telah mengadopsi gaya hidup agraria damai. Setiap pengunjung modern ke rumah panjang Iban akan bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang yang murah hati, ramah dan tenang .... Meskipun mayoritas Iban sekarang adalah Kristen, banyak ritual tradisional masih dipraktekkan, termasuk Gawai Dayak (pesta panen), Gawai Kenyalang (festival Hornbill) dan Gawai Antu (festival orang mati).
Naga kuno dan orang-orang Iban yang mirip dalam tradisi dan adat istiadat mereka, seperti pengayauan, agama animisme, festival panen, festival rangkong, tenun wanita dan lain-lain, festival panen dan festival Hornbill masih sangat umum di Nagaland (Nagalim). Setiap tahun festival Hornbill terus di Nagaland. Festival Hornbill di Nagaland baru-baru ini diselenggarakan dari tanggal 1 Desember 2004 di -5th baru dibangun Naga Heritage Complex di Kisama.
Mayoritas Naga telah mengadopsi kekristenan tetapi mereka masih berlatih festival tradisional seperti orang-orang Iban. Kedua orang kuno dan modern Iban mirip dengan Naga di India. Para perempuan Naga baik dalam pakaian tenun seperti wanita Iban. Semua suku Naga memiliki warna yang indah yang berbeda dari selendang yang mewakili suku-suku mereka sendiri.
Orang Naga juga sangat mirip dengan orang-orang nomaden suku Penan. Orang Penan yang telah beralih menjadi Kristen tidak lagi menjalani kehidupan nomaden dan telah menetap di rumah panjang.
Rumah panjang mereka mirip dengan rumah-rumah Naga kuno di mana mereka membangun rumah-rumah besar bagi kepala desa dan asrama.
Orang Ulu kelompok lain orang dari Kalimantan juga menyerupai dengan orang-orang Naga dalam beberapa aspek. Sebagian besar orang Orang Ulu sekarang Kristen dan mereka adalah orang-orang yang hangat dan ramah seperti Naga. Rumah panjang dan ukiran kayu rumah yang mirip dengan rumah-rumah kuno Naga.

Kesamaan dalam adat dan tradisi Naga dengan beberapa suku adat di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Taiwan adalah meyakinkan bahwa setelah Naga tinggal di dekat laut selatan atau Nusantara dan bermigrasi dari laut selatan hingga saat ini Naga Hills.
Hal ini juga percaya bahwa beberapa kelompok masyarakat adat dari Indonesia, Malaysia, Filipina dan Taiwan adalah kelompok yang sama dengan Naga yang mundur dari laut selatan Myanmar. Beberapa ulama Naga percaya bahwa beberapa keturunan Naga yang tersisa di dekat pantai laut dan orang-orang pergi jauh ke kepulauan selatan.
Beberapa penulis Naga juga menelusuri kembali asal-usul mereka ke Yunnan Province of China, yang diasumsikan bahwa beberapa suku di Laut Selatan yang menjadi nenek moyang yang sama.

Beberapa ahli Naga juga percaya bahwa beberapa kelompok Naga melangkah lebih jauh ke laut selatan Myanmar, Malaysia, Taiwan, Filipina, dan Indonesia. Naga dan beberapa kelompok masyarakat adat dari Filipina, Taiwan, Indonesia dan Malaysia mungkin suku / kelompok yang sama berasal dari China namun karena pengaruh dari orang lain dan perbedaan dalam lingkungan membuat mereka variasi budaya dan adat istiadat mereka. Jika mereka tidak dipengaruhi dari orang lain dan membawa berubah karena lingkungan - mungkin masih mempertahankan budaya kuno dan adat istiadat, yang akan lebih mudah untuk belajar tentang kemiripan mereka.

Ada beberapa kesamaan dalam adat dan tradisi; mereka juga ditelusuri kembali asal-usul mereka ke Yunnan Province of China. Namun studi DNA dan analisis Naga dengan suku-suku di Asia Tenggara dapat memberikan bukti ilmiah dan menyimpulkan bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama.
Dalam studi banding yang mendalam asal Naga dan beberapa masyarakat adat di Filipina, Malaysia, Indonesia dan Taiwan di masa depan mungkin menyimpulkan bahwa mereka berasal dari asal yang sama dan leluhur yang sama dalam pemeriksaan arkeologi dan DNA.


Sumber dan diedit dari:
Situs: http://e-pao.net/
Judul: Affinities between Nagas and Tribes of Southern Seas
Oleh: RB Thohe Pou (thohepou@rediffmail.com)
Abstrak: Studi tentang kesamaan antara Naga dan Suku Laut Selatan (Filipina, Malaysia, Indonesia, Taiwan dan lain-lain) adalah untuk melacak asal-usul Naga. Penelitian ini afinitas antara Naga dan suku laut selatan adalah meyakinkan bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama atau kelompok dan berasal dari tempat yang sama.
Read More...