Parmalim

Banyak hasil penelitian tentang Parmalim yang keliru. Salah satunya disebabkan karena si peneliti tidak bebas nilai.
(istimewa)
1 JAM YANG LALU  •  DILIHAT 166 KALI  • http://www.mdn.biz.id/o/16443/
Mengenal Parmalim: Asal-Muasal Manusia, Ibadah dan Paham Poligami

Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejak tahun 90-an, banyak peneliti, akademisi, jurnalis maupun penulis, yang tertarik mengulas Parmalim dan ajaran agama mereka, Ugamo Malim. Sayangnya, tidak sedikit di antaranya yang keliru. Hal itu disebabkan beberapa hal, antara lain, saat meneliti, peneliti menggunakan perspektif (agama) tertentu. Referensi yang tidak valid serta melakukan koneksi sejarah yang tidak tepat waktu dan penamaan.

Hal itu dijelaskan salah seorang pimpinan (ihutan) Parmalim Hutatinggi, Laguboti, Balige, Monang Naipospos dalam sebuah diskusi Parmalim di salah grup media sosial, Kamis (7/12/2017).

Monang Naipospos yang juga dikenal sebagai budayawan Batak Toba ini mengklarifikasi sejumlah pendapat keliru tentang Parmalim, yang berkembang selama ini.

Medanbisnisdaily.com yang ikut dalam diskusi itu, menguraikan beberapa point yang diklarifikasi sekaligus dijelaskan Monang Naipospos dalam diskusi itu.

“Perlu saya jelaskan bahwa sebutan "Parmalim" populer sejak awal tahun 1920. Semula penganut kepercayaan leluhur ini (yang tidak mau terpengaruh Kristen dan Islam) ada beragam penyebutan, seperti "parsitengka, parugamo, parpasti, parhudamdam, siinum uras. Namun yang terlembaga dengan baik adalah kelompok yang dipimpin Raja Mulia Naipospos yang disebut orang ‘parugamo’, “jelasnya.

Seiring dengan waktu, lembaga itu kemudian disebut dengan Ugamo Malim. Dasar anutannya adalah para "Malim" (orang alim, suci). Sesuai dengan kosa kata bahasa Batak; orang yang melakukan sesuatu diimbuh dengan "par" seperti par-onan, par-horbo, maka par-Ugamo Malim. "Par Ugamo Malim" kemudian disebut Parmalim itu pada tahun 1921.

Monang juga menampik adanya asumsi yang menyebut ibadah Parmalim yang biasa dilakukan pada hari Sabtu, meniru konsep Hari Sabat dalam Perjanjian Lama (Kristen). Dijelaskannya, Parmalim pimpinan Raja Mulia Naispospos, di awal-awal melakukan ibadah mingguan itu pada hari ke-2 Samisara dalam kalender Batak. Karena itu pula selama beberapa tahun sempat juga kelompok ini disebut parsamisara.

Kemudian para tokoh mengadopsi kalender latin karena sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melakukan analisa, karena Samisara itu kadang bertepatan hari Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu serta hari-hari lain. Karena pertemuan itu sering terjadi pada Sabtu, maka ditetapkanlah kegiatan mingguan ini pada hari Sabtu. Namun untuk hari besar ibadah lainnya masih tetap mengacu pada kalender Batak.

Sementara kelompok lain yang menamakan dirinya juga sebagai Parmalim seperti yang ada di Habinsaran justru menetapkan ibadah mingguan pada hari Rabu. Mereka sempat disebut “Pararipasti”. Selain itu Parmalim yang ada di Meranti justru tidak memiliki ibadah mingguan.

Monang juga mengklarifikasi pendapat yang menyebut Tumbaga Holing sebagai Kitab Parmalim. Begitu juga dengan konsep penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa.

Dijelaskannya, Parmalim tidak memiliki kitab Tumbaga Holing, tidak mengenal Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Manusia pertama yang mereka yakini adalah Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, sesuai dengan pemahaman orang Batak di masa lalu.

Begitu juga dengan larangan makan babi dan darah, sebagaimana yang diikuti umat Al Masih Timur berdasarkan Alkitab (Perjanjian Lama) dan juga Islam. Pantangan mengkonsumi babi dan darah dalam ajaran Ugamo Malim, dijelaskan Monang mengacu pada keyakinan masyarakat Batak di masa lalu.

“Dahulu orang Batak memahami “Hamalimon” (kealiman, kesucian) mengacu kepada “Haiason” bersih jasmani dan rohani. Kemudian berkembang menjadi “Parsolamon”. Yakni kemampuan membatasi diri dari hal-hal yang mengotori jasmani dan rohani. Banyak hal yang menjadi bagian parsolamon itu, salah satunya tidak mengkonsumsi babi dan darah,” ujarnya.

Terkait dengan penggunaaan sorban putih, Monang menjelaskan bahwa ikat kepala lazim digunakan orang Batak di masa lalu. Yang memiliki makna harajaon adalah yang berwarna hitam. Sedang makna kekuatan adalah merah. Warna putih melambangkan kesucian. Bila ketiganya digabung disbut tigabolit. Parmalim sendiri bisa menggunakan ketiga warna itu dan tak harus putih. Namun Pimpinan Parmalim yang merupakan keturunan Raja Mulia biasa menggunakan ikat kepala berwarna hitam dengan rumbai warna merah yang disebut “Tumtuman”.

Monang Naipospos juga mengklarifikasi asumsi yang menyebutkan Parmalim lekat dengan paham monogami sebagaimana yang diajarkan dalam Kristen. Dijelaskannya Parmalim tidak memiliki paham monogami. Tetapi dalam praktik kehidupan berkeluarga, sebagaiman orang Batak, tidak mudah bagi Parmalim melakukan poligami.


sumber:

http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/online/read/2017/12/08/16443/mengenal_parmalim_asal_muasal_manusia_ibadah_dan_paham_poligami/#.Wios_v1Re6U.facebook

Read More...