Dalam masyarakat Batak, sejak masa dahulu ada terdapat suatu agama tradisional kuno suku Batak yang disebut Parmalim. Selain Parmalim sebenarnya masih ada laih suatu agama kepercayaan yang disebut Pelbegu. Tapi agama Parmalim lah yang merupakan agama tradisional yang memiliki banyak pengikut pada masa sebelum masuknya agama Kristen dan Islam di masyarakat Batak.
Parmalim adalah sebutan bagi pengikutnya, sedangkan agamanya disebut Malim, atau dalam istilah populernya adalah Ugamo Malim.
Agama Malim, saat ini di tengah berkembangnya agama Kristen di kalangan masyarakat Batak, ternyata sebagian kecil masyarakat Batak di pedalaman dan kampung-kampung terpencil masih ada yang tetap mempertahankan agama kuno suku Batak ini. Terlihat dengan berdirinya lembaga Ugamo Malim di tanah Batak.
Sekilas tentang Ugamo Malim
Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan dimulai sejak Raja Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya. Masuknya tatanan baru seiring dengan menyusupnya “kepercayaan baru” yang meninggalkan “Mulajadi Nabolon”.
Perjuangan Parmalim tidak berakhir hingga Indonesia memperoleh kemerdekaan. Setelah “orang negeri” memegang tampuk kekuasaan tidak otomatis mendapatkan kemerdekaan bagi “kepercayaan” yang diajarkan Sisingamangaraja dan pengikutnya. Bahkan hambatan semakin dahsyat, yang menyakitkan, ini datangnya bukan dari penjajah, tetapi dari warga negara yang sama-sama bahagia memperoleh kemerdekaan itu. Dalam pemerintahan, penguasa negeri ini menghambat proses pengakuan terhadap “Ajaran Hamalimom” Sisingamangaraja dan pengikutnya yang melebur dalam Parmalim. Ini terjadi bertahun-tahun hingga dikeluarkannya Undang-undang No 23 Tahun 2006. Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada Parmalim untuk dicatatkan sebagai warga Negara melalui kantor catatan sipil walau tidak diberi kesempatan menuliskan identitas sebagai Parmalim di Kartu Tanda Penduduk.
Parmalim juga mengalami hambatan horizontal. Masyarakat khususnya Batak masih menganggap Parmalim aliran yang sesat. Bahkan lembaga agama lainnya masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak memiliki peradaban, belum mengenal jalan kebenaran Tuhan dan lain sebagainya. Banyak generasi muda batak keheranan begitu seorang memperkenalkan diri sebagai Parmalim. Upaya menyingkirkan dan menindas seperti ini ditambah lagi dengan pernyataan bahwa Parmalim tidak mengakui adat Batak.
Parmalim biasanya tidak akan menjawab tudingan hinaan dari masyarakat dan lembaga agama maupun intelektual yang menuliskan dalam buku sejarah atau sebuah jurnal. Akibatnya, stigma itu makin pekat dan sulit dihapus. Tidak ada kepentingan mereka menjernihkan pendapatnya yang miring terhadap Parmalim karena dilatarbelakangi kepentingan dan kebiasaan membicarakan sesuatu yang tidak jelas bagi dirinya.
sumber:
No comments:
Post a Comment