Suku Keppas

Suku Keppas, adalah salah satu komunitas masyarakat yang bermukim di kabupaten Dairi. Mereka adalah salah satu dari puak suku Batak Pakpak, yang hidup berdampingan dengan puak Batak Pakpak lainnya, seperti suku Pegagan, tetapi berbeda wilayah pemukiman. Suku Keppas ini banyak bermukim di kota Sidikalang dan di sekitarnya. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, kecamatan Sidikalang dan di kota Sidikalang.

Suku Keppas berbicara dalam bahasa Batak Pakpak, tapi mereka memiliki perbedaan sedikit dalam dialek dengan puak Pakpak lainnya. Dialek Keppas ini sedikit dipengaruhi oleh dialek dari kabupaten tetangganya dari wilayah provinsi Aceh, tetapi mereka tetap bisa berkomunikasi dengan puak Pakpak lainnya, mereka akan saling memahami dengan mudah.

Masyarakat suku Keppas pada umumnya memeluk agama Kristen (Katolik dan Protestan), ada juga yang beragama Islam (terutama yang dekat dengan perbatasan provinsi Aceh), selain itu masih ada yang tetap mempertahankan agama tradisional mereka seperti ugama sipelbegu.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pakpak Keppas ini, masih melekat kebiasaan lama mereka seperti mempercayai hal-hal gaib, mistik, praktek perdukunan dan mempercayai adanya roh-roh yang memiliki kekuatan di hutan, atau tempat-tempat yang dianggap angker.

Beberapa marga yang ada pada masyarakat suku Keppas adalah Ujung, Angkat, Bako, Bintang, Kudadiri, Maha, Capah, Sinamo dan Gajah Manik.

Karena keadaan alam wilayah pemukiman suku Keppas ini berada di pegunungan, maka profesi masyarakatnya sebagian besar adalah sebagai petani. Beberapa komoditas pertanian yang unggul dari daerah ini adalah Kopi (Kopi Sidikalang, sebagai salah satu kopi terbaik di Indonesia), Durian, Jagung, Kemenjen (Kemenyan), Nilam, Jeruk, Tiung (Durian Belanda), Kentang dan masih banyak komoditi unggulan lainnya. Sebagian besar komoditi unggulan sudah diekspor ke luar negeri.

artikel terkait:
Read More...

Suku Batak Padang Lawas

Suku Batak Padang Lawas, adalah suatu komunitas masyarakat, salah satu dari sekian banyak rumpun Batak. Mereka bermukim di kabupaten Padang Lawas dan kabupaten Padang Lawas Utara yang berada di provinsi Sumatra Utara. Suku Batak Padang Lawas disebut juga sebagai suku Batak Padang Bolak.

Suku Batak Padang Lawas, secara sejarah asal usul kemungkinan besar masih terkait erat dengan suku Batak Mandailing. Sebelumnya orang Batak Padang Lawas diakui sebagai sub-suku dari suku Batak Mandailing. Tapi karena komunitas ini hidup di wilayah yang terpisah dengan masyarakat suku Mandailing, saat ini suku Batak Padang Lawas ini diakui sebagai suku tersendiri yang disebut sebagai suku Padang Lawas atau suku Batak Padang Lawas.

Secara pasti asal usul suku Batak Padang Lawas tidak bisa diungkapkan secara jelas. Tetapi dari cerita rakyat secara turun temurun, dikisahkan bahwa dahulunya mereka berasal dari pembauran antara orang-orang dari sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah ini yang terjadi kawin-mawin dengan penduduk setempat. Yang dimaksud dengan kerajaan itu, kemungkinan adalah Kerajaan Holing atau Kerajaan Chola, yang datang dari India Selatan. Kedua kerajaan ini pernah jaya di wilayah ini pada masa lalu. Suatu kesimpulan yang muncul mengatakan bahwa suku Padang Lawas ini, berasal dari pembauran suku Lubu, suku Mandailing dan orang-orang dari Kerajaan. Selain itu di wilayah Padang Lawas ini banyak ditemukan situs-situs kuno dari era kerajaan Hindu Kuno, yang diperkirakan usianya sejak awal abad 1 M, tercatat paling tua dari kerajaan-kerajaan Hindu lainnya yang ada di Indonesia. Dengan penemuan situs-situs ini, menunjukkan bahwa orang Batak yang menetap di sekitar Padang Lawas sudah eksis sejak era kerajaan Hindu Kuno.

Bahasa
Orang Batak Padang Lawas berbicara dalam bahasa Batak Padang Lawas. Bahasa Batak Padang Lawas sendiri dianggap sebagai dialek dari bahasa Mandailing, karena banyak perbendaharaan kata yang sama dan mirip antara bahasa Padang Lawas dengan bahasa Mandailing.

Kepercayaan
Masyarakat suku Padang Lawas secara mayoritas adalah pemeluk agama Islam yang taat. Agama Islam di wilayah ini dibawa oleh pasukan Paderi Minangkabau yang menyerang Tanah Batak di daerah Selatan, yang pada saat itu memang sangat rapuh dan tidak memiliki pertahanan sama sekali. Sehingga pasukan Paderi berhasil melumpuhkan wilayah Selatan Tanah Batak, dan mengislamkan hampir seluruh penduduk di wilayah ini.

Tari Tradisional
tari Tor-tor
Suku Batak Padang Lawas memiliki tarian khas, yang disebut "Tari Tor-Tor". Istilah tarian ini sama dengan istilah tarian pada suku batak lainnya, seperti Toba, Angkola, Simalungun dan Mandailing. Hanya saja memiliki gerak dan cara yang sedikit berbeda. Pada tarian Tor-Tor ini terdiri dari panortor dan pangayapi (panortor berada di posisi depan pangayapi).

Peraturan dalam tarian tortor suku Batak Padang Lawas khususnya daerah Barumun Tengah dan sekitarnya, tidak memperbolehkan memakai alas kaki seperti sepatu kecuali bagi kedua mempelai (bayo pangoli/ pengantin putra dan boru nadioli/ pengantin Putri).


Pakaian Adat
pakaian adat
Pakaian tradisional orang Batak Padang Lawas mirip dengan pakaian adat Mandailing. Penutup kepala laki-laki disebut sebagai Happu, dan aksesoris sebagai penutup kepala perempuan disebut dengan istilah Bulang.












Partuturon (Dalihan Na Tolu)
Dalam masyarakat suku Padang Lawas, untuk memanggil atau menyebut orang lain (kata panggilan) disebut partuturon. Dalam tradisi orang Padang Lawas tanpa mengetahui partuturon bisa merusak dan melangggar peraturan yang berlaku dalam adat setempat. Partuturon terdiri dari 3 bagian, yaitu: 
  1. Mora, yaitu bagian kelompok keluarga ibu dan istri. (tulang, tunggane, tulang naposo)
  2. Anakboru, bagian kelompok suami saudara perempuan, suami saudara perempuan ayah, dan suami anak perempuan. (amangboru, lae, bere)
  3. Kahanggi, yaitu bagian kelompok saudara laki-laki ayah (uda/ Paman) sampai ke atas (uwak/ amangtua, oppungsuhut, anak da pahoppu), saudara laki-laki dan anak saudara laki-laki sampai ke bawah.
Tiga partuturon ini juga disebut Dalihan Natolu (Mora, Anak Boru, Kahanggi), yang menjadi induk dari partuturon dalam masyarakat suku Batak Padang Lawas. Sebutan istilah partuturon kemudian berkembang menjadi mora ni mora dan atau pisang raut.
Dalam kehidupan keseharian, masyarakat suku Padang Lawas ini, sebagian besar hidup sebagai petani. Sebagian besar bekerja di perkebunan karet. Selain itu mereka juga bercocok tanam untuk berbagai jenis tanaman sayur-sayuran. Selain itu, memelihara ternak juga menjadi kegiatan penting bagi beberapa penduduk di wilayah Padang Lawas ini.

sumber:
Read More...

Suku Batak Mandailing

Suku Batak Mandailing adalah salah satu suku dari sekian banyak Rumpun Batak yang telah lama hidup dalam suatu komunitas di kabupaten Mandailing-Natal, penyebaran juga terdapat di kabupaten Padang Lawas, kabupaten Padang Lawas Utara, dan sebagian kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di provinsi Sumatera Utara. Orang Mandailing juga menyebar hingga ke wilayah provinsi Sumatra Barat, seperti di kabupaten Pasaman dan kabupaten Pasaman Barat.

pemukiman Mandailing
Suku Mandailing memiliki adat, budaya dan bahasa sendiri. Mereka berbicara dalam bahasa Mandailing. Bahasa Mandailing sendiri sangat berkerabat dengan bahasa Batak Angkola dan Batak Toba. Dilihat dari tradisi budaya, adat dan bahasa terdapat keterkaitan erat di masa lalu antara suku Batak Mandailing dengan suku Batak Angkola, Toba dan Padang Lawas. Selain itu mereka juga diperkirakan masih terkait hubungan di masa lalu dengan suku Batak Rokan dan suku Rao.

Menurut salah satu versi dikatakan bahwa kata "Mandailing" berasal dari kata "Mandahiling", yang berakar dari "Mandala" dan "Holing", yang diduga berawal dari suatu nama daerah di bawah kekuasaan sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Kalingga. Kerajaan Kalingga adalah sebuah kerajaan dari India yang pernah berdiri di wilayah ini, dan membentuk koloni sejak abad 12 dan diduga terjadi perkawinan dengan penduduk asli "batak" setempat, yang menurut perkiraan wilayah mereka berada di antara Portibi hingga Pidoli.

Suku Mandailing ini berada di antara beberapa kebudayaan besar, yaitu budaya Batak Toba, Batak Angkola dan budaya Minangkabau. Pada suatu sisi suku Mandailing sebagai bagian dari rumpun Batak, tapi keberadaan mereka sempat diklaim berasal dari Minangkabau. Apabila dilihat dari struktur fisik, budaya, tradisi, adat-istiadat serta bahasa pada masyarakat suku Mandailing, bahwa suku Mandailing ini lebih berkerabat dengan suku Batak Toba dan Batak Angkola, dibanding dengan suku Minangkabau. Selain itu marga-marga yang ada pada suku Mandailing juga banyak yang sama dengan marga-marga pada suku Batak Toba dan Batak Angkola. Sedangkan dengan suku Minangkabau, sangat berbeda dari struktur fisik, budaya, tradisi, adat-istiadat serta bahasa pada masyarakat suku Mandailing sangatlah berbeda. Hanya karena pada suku Minangkabau terdapat salah satu suku/marga Mandaihiliang, oleh karena itu suku Minangkabau mengklaim bahwa Mandailing berasal dari salah satu marga/suku dari suku Minangkabau tersebut. Apabila dirunut ke masa lalu, orang Mandailing yang sejak dahulu sudah memiliki jiwa merantau, tersebar ke mana-mana seperti ke Malaysia, dan juga termasuk ke wilayah Minangkabau. Di wilayah Minangkabau mereka berbaur dengan suku setempat, melepas adat-istiadat aslinya, dan membentuk suatu komunitas yang disebut "mandailing" sesuai dengan nama tempat asal mereka "Tanah Mandailing". Oleh karena dialek orang Minangkabau yang susah menyebut "mandailing", maka komunitas merekapun terucap sebagai "Mandaihiliang". Jadi yang terjadi adalah sekelompok orang Mandailing bermigrasi ke Minangkabau, bukan sebaliknya. Perjalanan orang Mandailing di Minangkabau di masa lalu banyak terjadi di wilayah Pagarruyung di Minangkabau.

suku Mandailing
Suku Mandailing sendiri menganut paham kekerabatan patrilineal, tapi akhir-akhir ini ada yang menerapkan sistem matrilineal. Di Mandailing terdapat marga-marga, seperti: Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut dan lain-lain.
Marga-marga yang terdapat di Tanah Mandailing Godang, banyak memiliki pertalian dengan marga-marga dari Batak Utara (Batak Angkola dan Batak Toba). Tapi karena telah terpisah sejak berabad-abad, dan banyak terjadi missing link, maka marga-marga Mandailing saat ini telah berkembang menjadi beberapa aliran marga tersendiri. (lihat marga Mandailing)

Penduduk suku Batak Mandailing mayoritas adalah beragama Islam.  Berbeda dengan orang Batak Toba yang beragama Kristen. Tapi kedua suku bangsa ini berawal dari sejarah asal usul yang sama.

Banyak persamaan dalam kebiasaan orang Batak Mandailing dengan kebiasaan orang Batak Utara (Toba), misalnya:
  • ketika menyambut pengantin di rumah pengantin laki-laki. Masyarakat Mandailing selalu menyambutnya dengan ucapan horas...horas...horas
  • ketika bayi lahir, biasanya akan dibawa keluar rumah (dipatutoru), biasanya bakar kemenyan di luar rumah, agar bayi yang telah terlahir tidak mendapat gangguan roh halus.
  • adanya Gordang yang hampir bersamaan. (Gordang sambilan di tanah Mandailing Godang)
  • banyaknya persamaan nama gunung, nama desa dan nama sungai di tanah Batak Mandailing dan Batak Toba.
  • adanya acara mangupa-upa bila ada pesta perkawinan di tanah Mandailing
  • adanya tarian Tor-tor
  • adanya cara-cara menyiram sesuatu yang baru kita beli. Biasa diberi nama ipangir, agar terlepas dari marabahaya
  • adanya Ulos
  • adanya hata-hata yang bersamaan cara merangkai kalimatnya bila ada pesta ataupun pertemuan adat.
  • adanya istilah-istilah dalam hubungan kefamilian seperti anak boru, kahanggi, mora, harajaan, ula-ula dan lain-lain.
  • adanya tarombo (silsilah) yang membuktikan adanya hubungan urutan marga.

Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera,yang berasal dari huruf pallawa, bentuknya mirip dengan aksara Rencong. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak yang digunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai Mandailing sebelum abad 19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan mimpi.

Dalihan Na Tolu merupakan fondasi budaya Angkola-Sipirok, Padang Lawas dan Mandailing, yang saat ini lambat laun mengalami ancaman kepunahan.
Pada Dalihan Na Tolu terdapat 3 unsur, yaitu:
  1. Kahanggi, adalah kelompok yang mengayomi.
  2. Anak boru, adalah kelompok yang melaksanakan tugas.
  3. Mora, adalah kelompok yang dalam posisi penasehat.
Pada Dalihan Na Tolu terdapat 109 nilai, yang diperas menjadi 9 nilai budaya utama, yaitu:
  1. Kekerabatan, mencakup hubungan primordial, suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah dan perkawinan.
  2. Religi, mencakup kehidupan beragama.
  3. Hagabeon, mencakup banyak anak-cucu serta panjang umur.
  4. Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan dan kharisma.
  5. Hamaraon, mencakup kekayaan yang banyak tapi halal.
  6. Hamajuon, mencakup kemajuan dalam menuntut ilmu pengetahuan.
  7. Hukum, mencakup “ptik dan uhum’’ dalam rangka menegakkan kebenaran.
  8. Pengayoman, nilainya lebih kecil dari 7 unsur lainnya, karena orang Angkola-Mandailing harus mandiri.
  9. Konflik, mencakup terjadi pertarungan kekuatan tentang masalah tanah dan warisan.

sumber:
pic: gambar 2: barulagi.com
Read More...

Marga Mandailing

Suku Batak Mandailing adalah suatu komunitas adat yang hidup terkonsentrasi di kabupaten Mandailing Natal, selain itu juga terdapat di kabupaten Padang Lawas, kabupaten Padang Lawas Utara, dan sebagian kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di provinsi Sumatera Utara. Di luar provinsi Sumatra Utara, masyarakat suku Mandailing juga tersebar di kabupaten Pasaman dan kabupaten pasaman barat di provinsi Sumatera Barat.

Read More...

Suku Kluet

Salah satu wilayah di provinsi Aceh, tepatnya di kabupaten Aceh Selatan terdapat suatu komunitas adat, yang telah lama berdiam di wilayah tersebut. Mereka adalah komunitas yang berbeda dengan masyarakat Aceh pada umumnya. Mereka adalah suatu komunitas yang menyebut diri mereka sebagai orang Kluet atau suku Kluet. Istilah Kluet kadang disebut sebagai Keluwat atau Kluwat.

Kluet Selatan (kluetmedia)
Daerah Kluet ini dipisahkan oleh sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Wilayah kediaman orang Kluet ini terletak 30 km dari kota Tapaktuan atau 500 km dari Banda Aceh.

Di wilayah Aceh Selatan ini suku Kluet hidup berdampingan dengan 2 suku lain, seperti suku Aceh dan Aneuk Jamee. Suku Kluet sendiri hidup tersebar di wilayah Kluet Utara, Kluet Tengah, Kluet Selatan dan Kluet Timur.

Secara umum, orang Kluet sangat erat terkait kekerabatan dengan suku Alas dan suku Singkil, karena terdapat beberapa kemiripan dalam adat-budaya serta bahasa yang banyak dipengaruhi oleh kedua suku tersebut.

Masyarakat suku Kluet berbicara dalam bahasa sendiri, yaitu bahasa Kluet. Bahasa Kluet termasuk dalam kelompok rumpun bahasa Batak. Bahasa Kluet sendiri memiliki 3 dialek yang terus berkembang hingga saat ini, yaitu:
  • dialek Menggamat
  • dialek Payadapur, dan
  • dialek Krueng Kluet (Lawe Sawah).

Menurut catatan (Bukhari RA, dkk, 2008:11), sejarah Kluet dikatakan erat kaitannya dengan Kerajaan Laut Bangko yang merupakan sebuah danau kecil yang berada di tengah hutan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) sebelah barat, berbatasan dengan kecamatan Bakongan dan kecamatan Kluet Timur saat ini.
Menurut cerita bahwa Kerajaan Laut Bangko pernah jaya di masa lalu. Raja yang terakhir bernama Malinda dengan permaisuri Rindi. Setelah rajanya meninggal, bencana banjir menghantam kerajaan ini. Penduduknya melarikan diri mencari daratan, sebagian melarikan diri ke Tanah Batak, lainnya ke wilayah Tanah Singkil, dan sisanya tetap bertahan dengan mencari tempat yang lebih tinggi. Dari hal inilah dikatakan bahwa terjadi kemiripan antara bahasa Kluet dengan bahasa-bahasa Batak lainnya, seperti Karo, Pakpak, Toba, Alas dan Singkil.

Menurut cerita lainnya, diceritakan ketika terjadi perang besar di Aceh, suatu komunitas di pedalaman kena imbasnya dan melarikan diri ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di selatan Aceh dan menjadi komunitas tersendiri di kaki gunung Kalambaloh, sedangkan yang lainnya masuk lebih ke pedalaman dan membuat komunitas tersendiri pula sehingga terjadi percampuran bahasa dengan beberapa wilayah lainnya seperti Singkil dan Alas serta beberapa suku di Sumatra Utara.

Sedangkan menurut cerita rakyat suku Alas, bahwa antara suku Alas dan suku Kluet masih berkerabat dekat, dilihat dari cerita asal usul yang tersimpan dalam kedua kelompok masyarakat ini, bahwa orang Kluet berasal dari Raja Enggang yang merupakan adik dari Raja Patuha di Dairi dan abang dari Raja Lambing yang merupakan nenek moyang marga Selian dan orang Alas di Tanoh Alas dan marga Sebayang di Taneh Karo. Sedangkan Raja Enggang yang merupakan nenek moyang orang Kluet, keturunan pertama di Tanah Kluet adalah marga Pinim. 

Wilayah Kluet saat ini telah diakui sebagai suatu kesatuan dalam kabupaten Aceh Selatan. Mulanya Kluet hanya 2 wilayah saja, yakni Kluet Utara dan Kluet Selatan. Wilayah Kluet Utara beribukota Kotafajar dan Kluet Selatan beribukota Kandang.
Sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun dibagi menjadi 5 wilayah:
  • Kluet Utara, beribukota Kotafajar,
  • Kluet Tengah, beribukota Menggamat,
  • Kluet Timur, beribukota Duriankawan,
  • Kluet Selatan, beribukota Kandang,
  • Kluet Barat, beribukota Pasieraja.

Pemekaran wilayah Kluet ternyata menimbulkan konflik baru di wilayah Kluet. Di Kluet Barat yang beribukota Pasieraja dihuni oleh masyarakat Pasieraja yang tidak berbahasa Kluet, orang-orang di sini tidak mengakui wilayahnya sebagai wilayah Kluet. Bahkan, sempat tersebar isu, jika dipaksakan wilayah Pasieraja dengan nama Kluet Barat, masyarakat di sini akan minta wilayahnya dimasukkan ke kecamatan Tapaktuan saja. Akibatnya plang nama kantor camat wilayah ini dengan jelas ditulis “Camat Kecamatan Pasieraja”, bukan “Camat Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota Pasieraja”.
Rupanya hal ini membuat perpecahan kecil di antara masyarakat Kluet, walaupun tidak sampai menimbulkan konflik berdarah.

Terdapatnya 3 suku yang berbeda (Kluet, Aceh dan Aneuk Jamee) di wilayah Kluet sepertinya menjadi penyebab terjadi perpecahan di antara masyarakat Kluet. Kelompok masyarakat yang berbahasa Aceh tidak mau disebut sebagai orang Kluet. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang berbahasa Kluet juga tidak mau disebut sebagai bagian dari Aceh.

Masyarakat Kluet memiliki sejumlah adat dan budaya yang tetap terpelihara terus secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam adat perkawinan,sunat rasul, adat kematian, pengobatan, dan sebagainya.
Kemudian untuk sastra lisan pun masih hidup dan berkembang dalam komunitas ini, misalnya tradisi bersyair pada saat pesta perkawinan.
Terdapat 2 syair yang populer dalam kearifan masyarakat suku Kluet, yaitu:
  • Syair Meubobo, biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Syair mebobo juga kerap digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan ini masih hidup dalam masyarakat Kluet hingga sekarang. Hanya saja, tidak semua orang dapat memainkan kedua syair tersebut. Butuh kemahiran tersendiri untuk melantunkan.
  • Syair Meukato , merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki-laki dan rombongan mempelai perempuan.
  • Selain itu tradisi peribahasa dalam bahasa Kluet disampaikan dengan dialek masing-masing daerah.

Menurut beberapa literatur, masyarakat suku Kluet juga memiliki marga. Hanya saja marga dalam masyarakat suku Kluet tidak diutamakan untuk ditampilkan seperti masyarakat rumpun Batak lainnya. Tapi untuk sebagian masyarakat Kluet ada juga yang menampilkan marga di belakang namanya. Beberapa marga Kluet mirip dengan marga suku Alas, Singkil, Karo dan Pakpak.
Beberapa dalam marga suku Kluet, adalah:
  • Selian
  • Kombih
  • Pinim
  • dll.

Masyarakat Kluet mayoritas adalah beragama Islam yang taat. Beberapa tradisi dan budaya banyak dipengaruhi unsur Islami. Agama Islam berkembang di masyarakat Kluet sejak beberapa abad yang lalu, seiring dengan masuknya agama Islam di wilayah Aceh.

Di tengah masyarakat suku Kluet juga tersimpan mitos-mitos makhlus gaib (halus), salah satunya seperti mitos meurampot, yang masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat suku Kluet.

Orang Kluet pada umumnya hidup pada bidang pertanian, seperti berkebun dan berladang. Mereka hidup berkembang dengan cara exogamus (kawin dengan marga lain). Perkawinan diatur oleh kedua keluarga calon mempelai. Pertunangan biasanya memerlukan waktu sekitar 3 tahun.

Pemerintahan desa dibagi menurut kelompok keluarga sesuai dengan mergo (marga), dan bagian pemerintahan yang lebih kecil (rodjo). Sekelompok orang satu keturunan sara rodjo (satu ayah) dan sara ino (satu ibu).

Masyarakat suku Alas tidak mengenal aksara tradisional. Seluruh bentuk nasihat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial diturunkan secara turun temurun melalui tarombo dan cerita lisan.

sumber:
pic:
Read More...