Orang Batak Dulunya Kanibal ?

Mendengar kata "Kanibal" atau "Kanibalisme", terdengar menakutkan. Arti kanibal berarti memakan makhluk sejenis. Anjing memakan anjing, kucing memakan kucing atau manusia memakan manusia.

Fenomena makan memakan makhluk sejenis ini kadang disebut anthropophagus (bhs Yunani anthrôpos, “manusia” dan phagein, "makan"). Secara etimologis kata “kanibal” merupakan kata pungutan dari bahasa Belanda yang juga terkait dari bahasa Spanyol; “canibal” yang berarti orang dari Karibia. Fenomena ini ditemukan oleh para penjelajah.

ritual kanibalisme
Selain di Karibia, di Amerika hal ini pada zaman dahulu kala banyak terjadi pula, misalnya di antara suku Anasazi, Bangsa Maya dan Aztek. Selain itu di Asia-Pasifik, kanibalisme juga pernah ditemukan. Antara lain di antara suku Batak di Sumatra Utara, suku Dayak di Kalimantan, suku Asmat di Papua, beberapa suku lainnya di Papua Barat maupun Timur, Fiji dan daerah Melanesia lainnya. Di Papua Nugini di antara suku Fore, kanibalisme menimbulkan penyakit kuru.

Kalau kita mendengar pembicaraan masyarakat di kota Medan dan sekitarnya yang kadang menceritakan tentang etnis Batak pada zaman dahulu, biasanya beberapa dari mereka akan menceritakan bahwa pada zaman dahulu nya suku Batak adalah pemakan daging manusia alias kanibal. Sejenak kita menganggap "ah ini cuma cerita bohong, atau cuma nakut-nakuti".
Benarkah cerita itu ? Mari kita telusuri beberapa kesaksian dari para tokoh masa lalu ini.

Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi (jiwa) si pemakan daging manusia tersebut. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.

Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas" di pulau Sumatra.

Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".

Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu seorang penjahat akan dimakan hidup-hidup, daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".

Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang penduduknya sangat ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya ternyata adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.

Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.

Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".

Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816.

Seiring dengan masuknya agama di Tanah Batak, seperti agama Kristen dan Islam, maka segala tradisi kanibalisme itupun punah, dan segala catatan sejarah tentang kanibalisme di tanah Batak pun telah dimusnahkan. Karena bertolakbelakang dengan ajaran agama yang berkembang di Tanah Batak.

Saat ini suku Batak, setelah meninggalkan segala bentuk perilaku barbar dan kanibalisme nya, sebagai suku pedalaman dan suku terpencil, dan telah berkembang menjadi salah satu suku termaju di Indonesia.



Share/Bookmark

1 comment:

  1. Horas,,,

    Terus semangat menulis lek,artikel di atas membantu,

    Mauliate.

    ReplyDelete