Rumah Adat Karo


perkampungan suku Karo yang masih asli
(karo-news.blogspot.com)
Suku Karo merupakan salah satu suku tertua di Indonesia. Beberapa peninggalan suku Karo sejak berabad-abad yang lalu, masih bisa ditemukan di daerah Taneh Karo, yaitu berupa rumah-rumah adat tradisional suku Karo.
Beberapa rumah adat ternyata sudah sangat tua sekali. Memiliki kesan mistis tapi memiliki daya tarik yang khas bagi setiap orang yang melihatnya.

Rumah adat suku Karo, sebagai Gerga adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh dengan motif ukiran penuh makna. Rumah adat Karo yang paling populer adalah rumah adat Si Waluh Jabu.
Sebenarnya Rumah Adat Karo, terdapat beberapa jenis, yaitu:
  • Gerga, adalah tempat tinggal sang Raja yang penuh dengan motif ukiran penuh makna.
  • Belang Ayo, memiliki bentuk yang mirip dengan Gerga, sehingga kadang Belang Ayo dianggap sama dengan Gerga.
  • Si Waluh Jabu, artinya "delapan rumah" atau makna sebenarnya berarti "delapan keluarga" dalam satu kekerabatan. Rumah adat Si Waluh Jabu adalah nama lain dari Gerga atau Belang Ayo. Rumah adat Si Waluh Jabu ini yang paling banyak masih bisa ditemui di beberapa wilayah adat Taneh Karo.
  • Sepulu Jabu, artinya dalam satu rumah terdiri dari 10 keluarga dalam satu kekerabatan. Berukuran lebih besar dari Si Waluh Jabu.
  • Sepulu Dua Jabu, di dalamnya terdapat 12 keluarga dalam satu kekerabatan. Tidak memiliki kamar seperti Rumah Adat Si Waluh Jabu dan Sepuluh Jabu.
  • Sepulu Enem Jabu, mungkin merupakan Rumah Adat tertinggi di Indonesia. Di huni oleh 16 keluarga dalam satu kekerabatan. Karena Sepuluenem Jabu ini adalah Rumah Adat Karo yang terbesar, kemungkinan Sepuluenem Jabu ini bisa saja merupakan suatu Istana Kerajaan orang Karo yang dihuni oleh para keluarga Kerajaan di masa lalu.
  • Si Enem Jabu, rumah adat yang berukuran lebih kecil dari si Waluh Jabu, dan dihuni oleh 6 keluarga dalam satu kekerabatan.
  • Si Empat Jabu, rumah adat yang berukuran paling kecil, dan dihuni oleh 4 keluarga dalam satu kekerabatan.
  • Jambur, adalah suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan berbentuk rumah adat Karo dengan atap ijuk, merupakan tempat pelaksanaan acara-acara adat (adat perkawinan, adat dukacita) dan kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya. Jambur juga digunakan untuk tempat anak muda tidur. Para pemuda bertanggung jawab atas keamanan kampung mereka. Para pemuda tidak pantas tidur bersama orangtuanya dalam satu kelambu yang disekat-sekat dan sempit. Oleh karena itu para pemuda tidur di Jambur. Selain itu Jambur juga menjadi sarana bagi pemuda desa lain menginap jika kemalaman dalam perjalanan, atau pemuda yang datang bertandang untuk melihat pujaan hatinya yang disebut naki-naki.
  • Griten (Geriten), bangunan adat tempat menyimpan tengkorak keluarga yang telah meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan berbentuk panggung, berdiri di atas tiang penyangga bangunan.
  • Sapo Page, artinya lumbung padi. Bentuk seperti rumah adat. Berada di halaman depan rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas tiang. Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas berfungsi untuk menyimpan padi.
  • Lesung, juga digunakan sebagai lumbung padi.
  • Keben, digunakan untuk penyimpanan beras, merupakan bagian penting dari budaya Karo, karena beras merupakan tingkat status yang menunjukkan kekayaan seseorang.

Gerga, Belang Ayo
(http://wisata.kompasiana.com)
Sepulu Dua Jabu
(Collectie Tropen Museum, Netherland)

Sepulu Enem Jabu
(Collectie Tropen Museum, Netherland)
Gerga, Si Waluh Jabu
(era-gambarrumahadatkaroterkinilingga.
blogspot.com)
Keben
(amstrophel13architect.files.
wordpress.com)
Sapo Page
 (era-gambarrumahadatkaroterkinilingga.
blogspot.com)
Rumah adat karo, seperti juga rumah adat Toba, Mandailing, Simalungun, Dairi dan Pakpak, tidak memiliki kamar-kamar. Rata-rata rumah adat dari klan Batak ini, dapur tempat memasak berada di tengah rumah. Semua rumah-rumah adat ini adalah rumah panggung dengan falsafah masing-masing pula.
Rumah adat Karo yang berada di daerah pegunungan dengan udara yang dingin, dapur di tengah rumah memiliki fungsi dan makna tersendiri. Selain menerangi bagian rumah, juga memberikan kehangatan bagi seluruh keluarga.

Rumah Adat Si Waluh Jabu paling mudah ditemui, karena peninggalannya masih bisa ditemui tersebar di beberapa wilayah tanah adat Karo, sedangkan Rumah Adat Sepulu Jabu dan Sepulu Dua Jabu, sudah sangat susah ditemui.
Rumah adat Sepulu Dua Jabu, tidak memiliki kamar, tapi ada aturan agar tiap-tiap keluarga menjaga sopan santun dan adat istiadat yang kuat.
Rumah Adat Karo, seluruhnya berbentuk panggung, dibangun dengan tonggak penyangga bangunan. Atap rumah agak lancip dan dipenuhi ukiran. Semua ukiran memiliki makna sendiri-sendiri. Besar bangunan sekitar dua kali lapangan volley. Atap dilapisi daun ijuk, yang pada beberapa bangunan yang tua sudah ditumbuhi lumut hijau. Bubungan atap yang menghadap ke Barat bterdapat tanduk kerbau jantan yang menjulang dengan gagah (merupakan ciri khas bangsa tua budaya Dong Son). Sedangkan bubungan atap yang menghadap ke Timur terdapat tanduk kerbau betina. Satu mitos orang Karo mengatakan bahwa kedua tanduk itu merupakan tanda penolak bala, yang menyerang dari Timur dan Barat.

Di dalam ruangan rumah adat, tidak ada lampu yang menerangi, terkesan gelap dan angker. Beberapa tiang penyangga ruangan berukuran besar berada di dalam ruangan.
Di dalam ruangan di sebelah kiri dan kanan, terdapat 5 hingga 8 ruangan yang merupakan rumah-rumah tempat tinggal setiap keluarga (KK). Jadi, di dalam ruangan rumah adat terdapat beberapa rumah lagi (hal ini menunjukkan bahwa suatu rumah adat merupakan wadah bagi beberapa keluarga yang tinggal dalam satu rumah, lebih tepat merupakan suatu kampung kecil dalam satu bangunan rumah adat).  Masing-masing rumah yang berada di dalam rumah adat memiliki ukuran luas sekitar 6 m. Menurut cerita, dulunya dalam suatu rumah adat terdapat 8 hingga 16 keluarga dalam satu rumah adat.
Para (tungku memasak), berada di antara 2 rumah berbentuk petak. Di atas para, terdapat tempat menyimpan kayu bakar, yang digantung di atas tempat semacam plafon. Dua keluarga harus berbagi jatah memasak. Dalam satu rumah adat hanya ada 5 para.
Dinding rumah terdapat ukiran 5 warna, dengan motif saling kait, yang masing-masing warna pastilah memiliki makna sendiri, yang sayangnya tidak diketahui secara pasti tentang makna tersebut. Menurut penuturan warga Karo, hanya tinggal para orang tua lanjut usia saja yang paham mengenai makna 5 warna tersebut.

Menurut seorang warga Karo, bahwa 5 warna ukiran tersebut melambangkan keakraban dan kekerabatan antara 5 marga besar dalam suku Batak Karo, yang saling bersaudara, yaitu:
  • warna Merah adalah simbol marga Ginting
  • warna Hitam, milik marga Sembiring
  • warna Putih, milik marga Siangin-Angin (Peranginangin)
  • warna Biru, milik marga Tarigan
  • warna Kuning Keemasan, milik marga Karo-Karo.

Konsep rumah adat Karo ini oleh para arsitek di masa awal pembangunan rumah adat ini sangat lengkap, sampai memikirkan kekuatan bangunan, sehingga apabila terjadi gempa rumah adat akan tetap berdiri kokoh. Palas (antara batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah), dilapisi batang ijuk, yang berfungsi meredam getaran akibat gempa, rumah akan mengikuti arah getaran gempa.

Di masa lalu, dalam membangun rumah adat harus dilakukan dengan ritual panjang. Kayu bahan bangunan dipilih seizin sang dukun. Mereka memilih kayu dari hutan, memotong-motong dan dibawa ke hadapan sang dukun. Oleh sang dukun, kayu-kayu tersebut didoakan, dimimpikan, untuk kemudian dipilih kayu mana yang boleh digunakan. Pemilihan kayu harus tepat, karena apabila salah memilih kayu, maka diyakini akan membawa bencana.
Jenis kayu yang boleh dipakai untuk membangun, hanya boleh dari 3 jenis saja, yaitu:
  • kayu Ndrasi, diyakini menjauhkan keluarga yang tinggal di rumah tersebut tidak mendapat sakit.
  • kayu Ambartuah, dipakai supaya mereka diberi tuah, ataupun kesejahteraan hidup.
  • kayu Sibernaik, dipakai untuk mendoakan kemudahan rezeki.
Di dalam rumah adat, terdapat banyak aturan dan pantangan adat yang harus dipatuhi oleh setiap keluarga yang tinggal di dalam rumah adat. Bicara tidak boleh sembarangan, tidak boleh duduk di tengah ruangan, tidak boleh duduk di tungku, karena tungku adalah tempat untuk memasak dan lain-lain.

Masing-masing keluarga dalam rumah adat menjaga keluarga masing-masing, tidak saling mengganggu. Seperti memasak, melakukan sesatu, bahkan melintasi sudut-sudut milik keluarga lainnya. Terlebih laki-laki, jika mereka melintasi kawasan keluarga lainnya, pandangannya harus tetap terjaga memandang ke depan. Mata tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan, apalagi sampai menoleh ke sekat-sekat wilayah keluarga lain. Dia hanya boleh melihat ke wilayah dimana dia tinggal.
Tutur kata, cara berbicara harus tetap terjaga. Terlebih malam hari, karena jangan sampai mengganggu privacy tetangga. Hampir semua aturan tinggal di rumah adat Karo tidak tertulis, namun ditaati, sebagai sebuah aturan adat istiadat yang harus dijunjung tinggi.
Semisal, jika anak kandung kita meninggal dunia, kita masih boleh tinggal di rumah adat. Tapi bila istri kita meninggal dunia, kita harus pindah tidur ke Jambur, karena seorang duda tidak boleh tinggal di dalam rumah adat. 
Jika isteri kita meninggal dunia dan kita wajib tidur di Jambur, maka ada kata-kata ”suin anak kalake mate asang anakta” yang berarti "lebih sakit kematian anak orang lain dari pada kematian anak kandung sendiri".
Jika kematian anak kandung, kita masih boleh tinggal di dalam rumah adat. Tapi jika isteri kita (anak orang lain) yang meninggal dunia, maka kita harus keluar dari rumah adat dan bergabung dengan pemuda di jambur. Seluruh aturan harus dipatuhi, untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan terjadi.

Karena banyaknya pantangan yang harus dipatuhi, sehingga lama kelamaan banyak yang pergi meninggalkan Rumah Adat dan memilih menetap di rumah biasa. Sehingga hal ini dikhawatirkan Rumah-Rumah Adat Karo yang banyak meninggalkan sejarah akan menghilang akibat tidak terawat ditinggal penghuninya.

Bujur, Mejuahjuah!

referensi:
  • http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/01/12/lingga-dinasti-yang-terlupakan-429862.html
  • http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/37034/dalam-rumah-adat-karo-lebih-sakit-kematian-anak-orang-lain-daripada-kematian-anak-sendiri
  • http://karo-news.blogspot.com/2010/10/tanah-karo-di-era-80-1.html 
  • http://bethelginting.blogspot.com/2012/05/otensi-rumah-adat-karo-siwaluh-jabu.html 
  • http://amstrophel13architect.wordpress.com/author/amstrophel13architect/page/25/ 
  • http://era-gambarrumahadatkaroterkinilingga.blogspot.com/2012/01/gambar-rumah-adat-karo-desa-lingga.html

Read More...

Suku Gayo Deret

Suku Batak Gayo Deret, atau Gayo Linge, merupakan salah satu sub-etnis dari suku Gayo yang menetap di daerah Linge di kabupaten Aceh Tengah provinsi Aceh. Populasi orang Gayo Deret diperkirakan sekitar 8000 orang pada sensus tahun 2010.

Orang Gayo Deret berbicara dalam bahasa Gayo, tapi bahasa Gayo yang mereka ucapkan memiliki dialek yang agak berbeda dengan kelompok puak (sub-etnis) Gayo lainnya. Bahasa Gayo Deret/ Linge walaupun memiliki perbedaan dialek dengan puak (sub-etnis) Gayo lainnya, seperti Gayo Lut (di kabupaten Bener Meriah dan sebagian Aceh Tengah), Gayo Lues/Belang (kabupaten Gayo Lues)  serta Gayo Lukup/Serbejadi (di Aceh Timur dan Gayo Kalul di Aceh Tamiang tetap bisa berkomunikasi dengan baik.
 
Umah Pitu Ruang
Umah Pitu Ruang di Buntul Linge
(Rumah Adat Gayo Linge)
Orang Gayo Deret mengamalkan adat istiadat serta budaya yang tidak jauh berbeda dengan puak Gayo yang lain. Hanya terdapat perbedaan istilah saja dalam penyebutan beberapa istilah dalam budaya dan adat-istiadat mereka. Istilah "deret" tidak diketahui berasal dari mana, tapi dari penuturan orang tua-tua dari masyarakat Gayo Deret, bahwa istilah "deret" adalah berasal dari nama seseorang yang dahulunya diberi tugas oleh sang Raja mereka untuk memelihara seluruh jenis binatang yang berada di wilayah adat mereka ini. Sedangkan istilah "linge" berasal dari kata "lenge", dalam bahasa Gayo, "linge" berarti  “suaranya”. Setelah masa kemerdekaan daerah Linge lebih dikenal dengan sebutan Gayo Deret. Linge adalah nama sebuah kampung dan juga salah satu nama kecamatan di kabupaten Aceh Tengah, dengan ibukota Isaq. Kampung Linge memiliki 3 dusun, yaitu Kawe Tepat, Pengkudu dan Buntul dengan penduduk sekitar 100 KK.

Daerah pemukiman orang Gayo Deret di Linge, adalah daerah perbukitan (80% wilayahnya ditumbuhi Pinus Merkusi), sehingga merupakan daerah yang asri. Namun daerah Gayo Deret yang berada di perbukitan, tapi udaranya tidak sedingin di Takengon dan Bener Meriah.

makam Raja Linge dan istri,
di kampung Linge, kec. Linge,
Aceh Tengah
(pic: Alfazri, Kompasiana)
Di daerah ini dahulunya pernah berdiri sebuah kerajaan besar sekitar abad X, yang bernama Kerajaan Linge (Kerajaan Lingga) sekitar tahun 1025M. Kerajaan Linge ini adalah sebuah kerajaan yang didirikan oleh orang-orang Gayo pada masa jauh sebelum ada Kerajaan Aceh Darussalam yang sultan pertamanya Meurah Johan merupakan anak keturunan Raja Linge yang pertama, yaitu Adi Genali. Konon, orang Gayo lah pemeluk Islam pertama di wilayah provinsi Aceh ini. Selain itu menurut orang Gayo Deret, bahwa orang-orang Gayo pertama sekali berasal dari daerah Linge, kemudian menyebar ke berbagai daerah di luar Linge. Seperti dalam pepatah Gayo, Keasalan Linge terungkap dalam pepatah Gayo, “Asal Linge Awal Serule” dan menurut Kekeberen (Tradisi lisan).
Sesuatu yang menarik terjadi baru-baru ini di Tanoh Linge, pada 28 Januari 2013 di Umah Pitu Ruang Buntul Linge, telah mengukuhkan Iklil Ilyes Leube sebagai Pemangku Reje Linge XVIII. Menurut keterangan, bahwa pengukuran Reje Linge ini bertujuan untuk mempersatukan masyarakat Linge Raya meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kalul di kabupaten Tamiang dan Lukup Serbejadi di Aceh Timur. Dengan ini berarti Kerajaan Linge memiliki seorang Reje kembali.
Gayo akhirnya punya raja Linge lagi. Dan ini terjadi Senin 28 Januari 2013 bertempat Umah Pitu Ruang Buntul Linge Iklil Ilyes Leube dikukuhkan sebagai pemangku Reje Linge ke-XVIII.
Pengukuhan ini dihadiri oleh masyarakat,  akademisi, ketua dan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara.
Menurut keterangan Fauzan Azima selaku penyelenggara di Buntul Linge kepada Lintas Gayo, Senin (28/01/2013), pengukuhan Reje Linge ini sudah lama digagas oleh akademisi, seluruh ketua KPA kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah dan Aceh Tenggara.
“Pengukuhan ini bertujuan hanya untuk mermpersatukan masyarakat Linge Raya meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kalul di kabupaten Tamiang dan Lukup Serbejadi di Aceh Timur,” kata Fauzan Azima
- See more at: http://www.lintasgayo.com/33955/fauzan-azima-pengukuhan-reje-linge-untuk-satukan-masyarakat-gayo.html#sthash.aqluN9j1.dpuf
Linge | Lintas Gayo – Gayo akhirnya punya raja Linge lagi. Dan ini terjadi Senin 28 Januari 2013 bertempat Umah Pitu Ruang Buntul Linge Iklil Ilyes Leube dikukuhkan sebagai pemangku Reje Linge ke-XVIII. - See more at: http://www.lintasgayo.com/33955/fauzan-azima-pengukuhan-reje-linge-untuk-satukan-masyarakat-gayo.html#sthash.TckMRUpM.dpuf

Kehidupan yang semakin berkembang dalam masyarakat Gayo Deret dari tahun ke tahun semakin menunjukkan eksistensi mereka sebagai orang Gayo di tengah budaya mayoritas suku Aceh di provinsi Aceh. Menurut cerita di masa lalu, konon orang Gayo Deret kalau berhubungan dengan masyarakat lain biasanya mengaku sebagai orang Aceh, karena kalau menyebut "dari Gayo", kuatir orang tidak tahu apa itu "orang Gayo". Tapi kini, orang Gayo Deret telah percaya diri untuk menyebut diri sebagai orang Gayo Deret.

beberu (para perempuan)
sedang menumbuk padi
Dalam kehidupan keseharian, orang Gayo Deret pada umumnya juga hidup pada pertanian padi sawah dan perladangan. Dalam perkembangannya, mereka juga mencoba mengembangkan pola pertanian mereka pada tanaman keras seperti kopi dan kakao, sedangkan tanaman khas di wilayah Gayo Deret adalah kemili (kemiri). Selain pertanian, masyarakat Linge juga dikenal sebagai peternak hewan, khususnya kerbau.

referensi:
>  http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-gayo-deret.html
>  http://sejarah.kompasiana.com/2013/07/20/linge-negeri-asal-orang-gayo-575099.html
>  http://winaan.blogspot.com/2011/02/sejarah-singkat-gayo.html 
>  http://voice-of-linge.blogspot.com/
Read More...

Suku Gayo Lut


danau Lut Tawar,
pemukiman orang Gayo Lut
(wikipedia.org)
Suku Batak Gayo Lut, atau Gayo Laut, adalah suatu kelompok masyarakat yang merupakan salah satu sub-etnik suku Batak Gayo yang mendiami daerah pesisir danau Lut Tawar (indonesia: Laut Tawar). kabupaten Aceh Tengah provinsi Aceh.

Istilah Gayo Lut, muncul karena sejak dahulu sekelompok etnik Gayo hidup menyebar dan menempati wilayah pesisir sekitar danau Lut Tawar, oleh karena itu lah mereka disebut sebagai orang Gayo Lut. Sebutan bagi orang Gayo Lut, kadang disebut juga sebagai Gayo Laut.

Read More...

Suku Gayo Lues

baju adat Gayo Lues
(fb:samandance)
Suku Batak Gayo Lues, merupakan salah satu puak atau sub-etnik dari suku Batak Gayo, yang berada di kabupaten Gayo Lues dan beberapa daerah di Aceh Tenggara, juga terdapat komunitas kecil di kabupaten Aceh Selatan provinsi Aceh.

Suku Gayo Lues terkonsentrasi di kabupaten Gayo Lues, yang berada di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan, sebagian besar wilayah adat mereka berada di area Taman Nasional Gunung Leuser yang terisolasi di provinsi Aceh.

Orang Gayo Lues berbicara dalam bahasa Gayo, yang memiliki perbedaan dialek dengan puak-puak Gayo lainnya. Karena wilayah adat mereka agak terpisah dengan etnis Gayo lainnya, menyebabkan dialek bahasa mereka sedikit , oleh karena itulah orang Gayo yang berada di kabupaten Gayo Lues disebut sebagai Gayo Lues.

Suku Gayo sendiri terdiri dari beberapa puak, yaitu:
  • Gayo Lues
  • Gayo Deret
  • Gayo Lukup (Serbejadi)
  • Gayo Lut 
  • Gayo Kalul
    dan
  • Gayo Bebesen (Batak 27)


tari Utih Roda, Gayo Lues
Tradisi, budaya dan adat istiadat suku Gayo Lues hampir tidak ada perbedaan dengan puak-puak Gayo lainnya.
tari Saman, Gayo Lues
Secara mayoritas masyarakat suku Gayo Lues, adalah pemeluk agama Islam, yang menurut beberapa versi di Aceh, dikatakan dibawa oleh orang Aceh dan Minangkabau ke wilayah ini. Tapi menurut orang Gayo sendiri, bahwa agama Islam lebih dahulu masuk dan berkembang di wilayah Gayo dari pada masyarakat Aceh nya sendiri. Masyarakat suku Gayo Lues adalah penganut Islam yang taat. Beberapa tradisi dan kebudayaan orang Gayo Lues banyak mendapat pengaruh unsur Islami.

Orang Gayo adalah orang yang ramah terhadap pendatang. Walaupun mereka hidup terisolasi di daerah pegunungan, tapi mereka membuka diri bagi para pendatang, tidak bersikap "anti pendatang" seperti kebanyakan suku-suku di daerah lain di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya para pendatang dari luar wilayah mereka yang memasuki Taneh Gayo Lues.

Pada umumnya masyarakat suku Gayo Lues hidup pada pertanian, seperti tanaman padi sawah, juga tanaman sayur-sayuran, seperti cabe merah, serai wangi dan kentang. Juga beberapa tanaman keras menjadi kegiatan mereka, seperti kakau, tembakau dan kopi Arabica.

referensi:
http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-gayo-lues.html
https://www.facebook.com/Samandance?v=feed&story_fbid=190316244306
Read More...

Suku Batak Singkil

suku Singkil, kesenian Dampeng
(youtube.com)
Suku Batak Singkil, adalah sebuah komunitas masyarakat yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil dan terutama di kota Subussalam dan di kecamatan Singkil, Simpang Kiri, Simpang Kanan dan pulau Banyak, yang berada di provinsi Nanggroe Aceh. Populasi suku Singkil diperkirakan sekitar 50.000 orang.

Kata "singkil" diduga berasal dari kata "sekel" yang berarti "mau". Masyarakat suku Singkil hidup di wilayah ini berdampingan dengan suku Gayo dan suku Alas. Secara fisik orang Singkil terlihat kemiripan kekerabatan dengan orang Gayo dan Alas, begitu juga tradisi, adat dan budaya yang diusung mereka. Orang Singkil terlihat berbeda dengan masyarakat suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Nanggroe Aceh.

perempuan Singkil
(acehzom.blogspot.com)
Orang Singkil berbicara dalam bahasa mereka sendiri, yaitu bahasa Singkil. Bahasa Singkil sendiri oleh para peneliti bahasa berada dalam kelompok keluarga bahasa Batak. Bahasa Singkil dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Batak Utara, yang terdiri dari bahasa Karo, Pakpak, Dairi, Gayo, Singkil, Alas dan Kluet. Dilihat dari kosakata, bahasa Singkil sangat berkerabat dengan bahasa Pakpak di Sumatra Utara. Oleh karena itu bagi masyarakat suku Pakpak sering menganggap bahwa bahasa Singkil merupakan salah satu dialek dari bahasa Pakpak. Suku Singkil bagi masyarakat Pakpak sering dianggap sama dengan suku Boang yang merupakan salah satu puak suku Pakpak. Dilihat dari adat istiadat dan budaya suku Singkil sangat berbeda dengan adat istiadat dan budaya suku Pakpak. Sedangkan menurut orang Singkil, bahwa orang Boang adalah etnis di luar Singkil dan merupakan orang Pakpak, yang tentunya berbeda dengan orang Singkil. Orang Singkil menyebut orang Boang sebagai suku Kampung di kabupaten Aceh Singkil.

Dalam kehidupan masyarakat suku Singkil banyak mengalami percampuran dengan etnis-etnis tetangganya, seperti Gayo dan Alas, maupun etnis pendatang, seperti Mandailing, Nias, Aceh, Melayu dan Minang. Tapi kebanyakan mereka yang telah berabad-abad hidup menetap di wilayah adat suku Singkil telah menyatu dalam budaya Singkil.

Dalam masyarakat suku Singkil yang patrilieal, juga terdapat tradisi marga, yang diteruskan kepada generasi berikutnya melalui pihak laki-laki. Tradisi marga pada sebagian masyarakat suku Singkil, mungkin tidak se"penting" seperti tradisi marga pada etnik-etnik Batak lainnya. Tapi sebagian dari masyarakat suku Singkil masih menampilkan identitas marga di belakang namanya, untuk membedakan mereka dengan etnik di luar komunitas mereka. (lihat: marga Singkil)

rumah adat Singkil
(ogeksingkil.blogspot.com)
Suku Singkil hidup di dataran tinggi provinsi Nanggroe Aceh, yang termasuk salah satu dari sukubangsa Proto Malayan. Pada masa awal kehadiran komunitas ini di wilayah Singkil, mereka sangat mengisolasi diri dari dunia luar dan menetap di dataran tinggi Aceh. Tetapi seiring masuknya budaya Melayu dan Aceh yang membawa budaya serta agama Islam, secara perlahan budaya asli suku Singkil ini menyerap budaya Melayu dan Aceh dan memeluk agama Islam.

Seni dan budaya suku Singkil:
  • Tari Alas
  • kesenian Dampeng
  • Tari Barat
  • Tari Sri Ndayong
  • Tari Piring
  • Tari Biahat (Tari Harimau)
  • Tari Payung
  • Tari Lelambe

Hukum Denda Adat, dalam masyarakat suku Singkil terdiri dari 3 tingkatan, yang disesuaikan dengan kesepakatan dan perkembangan zaman, yaitu:
  • Denda 105, apabila seorang raja melakukan suatu kesalahan, maka hal tersebut hanya ditujukan kepada seorang raja saja.
  • Denda 100, apabila seorang pengulu/ kepala desa melakukan suatu kesalahan, maka hanya ditujukan kepada seorang pengulu saja.
  • Denda 80, apabila seseorang warga melakukan kesalahan, maka hanya ditujukan kepada seseorang warga tersebut saja.

Perkawinan, dalam adat istiadat perkawinan suku Singkil, harus dipenuhi oleh pihak laki-laki.
  • Beras 100 (sepuluh kaleng)
  • Kambing 1 ekor
  • Uang hangus (jumlah tidak tertentu), ada disebut dengan Khukun damae artinya kebutuhan yang dibutuhkan dengan musyawarah.
  • Obon (nasi kendang), yang dibawa oleh pengantin laki-laki (yang mengiringi) atau disebut dengan mengakhak dan jumlah obon 16 talam.

Makanan tradisional
  • Nditak
  • Pelita Talam
  • Ndalabakh
  • Buah Belaka
  • Nakan Nggekhsing (nasi kuning)
  • Seme Malum, Cemanis (puluh bekuah)
  • Manuk Labakh, Cenecah

Keterampilan Tradisional, yang juga digunakan oleh mempelai laki-laki, masing-masing sebanyak 16 buah.
  • Supit belopepinang
  • Ndulang
  • Pahar

Dalam bertahan hidup pada umumnya orang Singkil pada bidang pertanian, buruh perkebunan kelapa sawit, memuat balok-balok kayu ke kapal yang akan diekspor ke luar negeri atau Jakarta.

referensi:
  • http://protomalayans.blogspot.com/2010/05/suku-singkil.html
  • http://www.tanohaceh.com/?p=1283
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Singkil
  • http://voice-of-pakpak.blogspot.com/2012/12/sejarah-suku-singkil.html
  • http://www.youtube.com 
  • http://acehzom.blogspot.com
  • http://ogeksingkil.blogspot.com

lihat juga:
Read More...