Orang Ulu (Orang Tanah Hulu)

Orang Ulu atau Orang Tanah Hulu, adalah suatu komunitas masyarakat adat yang terdapat di desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo kecamatan Muara Sipongi di provinsi Sumatra Utara. Populasi suku Ulu ini diperkirakan saat ini sekitar 135 Kepala Keluarga.

Menurut dugaan orang Ulu merupakan masyarakat kuno, yang hadir di wilayah ini sejak abad 2, yang  bermukim di hutan pedalaman Tapanuli Selatan. Mereka hidup sebagai nomaden, menjelajah di hutan pedalaman, dan tidak menetap pada suatu tempat secara permanen. Dalam perjalanan nomaden mereka, akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian persawahan dan perladangan. Tetapi lama kelamaan mereka membangun perkampungan di daerah baru tersebut, pemukiman mereka di perkampungan ini semakin terasa sempit, sementara mereka masih membutuhkan lahan untuk memperluas tanah garapan. Pada masa itu lahan di pemukiman mereka semakin terbatas seiring dengan pertambahaan penduduk. Wilayah pemukiman mereka dianggap tidak mencukupi lagi sumberdaya alamnya, baik persawahan maupun perladangan. Mereka memilih pergi untuk mencari tempat baru untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru. Akhirnya sampailah mereka di suatu tempat dan membuat sebuah perkampungan yang disebut sebagai desa Sibinail di Muara Sipongi.

Pada awalnya di daerah Sibinail ini sudah dihuni oleh 3 suku yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah ini, yaitu suku Mondoilig, suku Pungkut dan suku Kamak Kepuh. Keturunan dari ketiga suku inilah yang mendiami desa Sibinail pada saat ini, setelah terjadi pembauran antara ketiga suku ini dengan suku Ulu. Desa Sibinail ini dalam perjalanan sejarahnya, awalnya terdiri dari tiga dusun yaitu dusun Sibinail, dusun Ranto Lolo dan dusun Tamiang Mudo. Setelah sekian lama, 3 dusun ini semakin berkembang, lalu digabungkan dan membentuk 2 desa, yaitu desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo. 

Pada waktu Perang Paderi yang bergolak pada akhir abad ke-19, sebagian penduduk desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo, pindah ke desa lain yang disebut desa Siladang, Di tempat ini mereka bertemu dengan suku Lubu yang telah terlebih dahulu berada di sana. Perpindahan mereka dikabarkan karena menghindar dari pasukan serdadu Paderi. Di tempat baru tersebut mereka berbaur dan terjadi perkawinan campur dengan suku Lubu yang menyebabkan terbentuknya bahasa dan adat-istiadat tersendiri yang disebut sebagai bahasa dan adat-istiadat Siladang yang berbeda dengan bahasa dan adat penduduk di Sibinail. Sedangkan sebagian lain yang bertahan di desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo, tetap mempertahankan adat-istiadat asli mereka hingga saat ini, dan tetap memakai identitas diri sebagai suku Ulu atau Orang Ulu.

Bahasa Ulu sendiri berbeda dengan bahasa Batak Mandailing maupun bahasa-bahasa lain yang ada di wilayah Tapanuli Selatan. Apabila diperhatikan bahasa Ulu ini bernuansa Melayu, tetapi lebih tua dari bahasa Melayu nya sendiri, tetapi juga banyak menyerap perbendaharaan kata dari bahasa Batak Mandailing yang terjadi perubahan pada pengucapan bunyi, menyesuaikan dengan dialek suku Ulu.
Secara klasifikasi bahasa, bahasa Ulu diklasifikasikan ke dalam rumpun bahasa Malayic (Melayu Purba).

Orang Ulu walaupun mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Ulu atau Urak Ulu, tapi dalam setiap perantauan ke daerah lain, mereka lebih suka mengaku sebagai orang Mandailing.

Masyarakat suku Ulu saat ini mengandalkan hidup pada bidang pertanian terutama pada persawahan dan perladangan. Selain itu mereka juga banyak menjadi buruh tani.

sumber:
Read More...

Nama-Nama Batak dan Artinya

Masyarakat Batak memiliki nama-nama khas. Nama menurut orang tua, bisa membawa hal baik, keberuntungan dan juga diketahui darimana seseorang itu berasal.

Berikut ini daftar beberapa nama khas orang Batak serta artinya.

Toba
Nama Laki-laki:
  • Agam = memikir, menduga, menyangka
  • Anggiat = semoga, mudah-mudahan, supaya, agar, kiranya,
  • Anju = berlaku sabar, bersabar hati, toleran, berlapang hati;
  • Batara = gelar dewa Batak
  • Benget = tabah, tekun
  • Binsar = terbit
  • Bonar = benar, jujur, adil, tulus hati
  • Bungaran = makmur, meningkat, contoh daerah, perdagangan
  • Dame = damai
  • Domu = berkumpul, cocok, kompak, rujuk, temu, rapat, serasi, sesuai
  • Gabe = jadi, menjadi sesuatu
  • Gomgom = memerintah, menguasai, mengayomi
  • Halomoan = yang disukai, kesukaan
  • Hamonangan = kemenangan
  • Haposan = percaya, tidak bimbang,
  • Hobas = siap sedia, menyiapkan
  • Hotmian = sangat kuat
  • Ihut / Pangihutan = ikut, mengikuti, yang diikuti, teladan
  • Ingot / Parningotan = ingat, yang diingat, pengingat
  • Jogi = bagus, cantik, ganteng, tampan
  • Lambok = lembut, kelembutan
  • Lamhot = makin kuat
  • Linggom = berteduh
  • Lintong = telaga, kolam yang dalam
  • Luhut = semua sekalian, berkumpul, bersama, seluruh;
  • Marasi / Asi = menaruh belas kasihan, kasih
  • Marisi = berisi
  • Martua = 
  • Maruli = memperoleh sesuatu, beruntung
  • Monang = menang
  • Naek / Marnaek = naik, mendaki, memanjat
  • Olo = iya, mau
  • Paima = tunggu, menunggu
  • Pardamean = perdamaian
  • Pandapotan = mendapat, menemukan, orang pada siapa seseorang bergantung, pendapatan
  • Pardomuan = berkumpul, cocok, kompak, rujuk, temu, rapat, serasi, sesuai
  • Parmonangan = kemenangan
  • Parlindungan = tempat perlindungan
  • Parlinggoman = tempat berteduh
  • Parsaoran = perkumpulan, berkumpul
  • Parulian = keberuntungan
  • Pasu = berkat
  • Patar = jelas dan mudah terlihat:at, terang, tidak ada yang tersembunyi, terbuka, transparan, nyata
  • Patudu = tunjukkan
  • Pintor = lurus, betul, benar,jujur,
  • Poltak = terbit
  • Posma =
  • Ruhut = tatanan, kaidah, adat istiadat, tata aturan
  • Sahala = wibawa, kharisma
  • Sahat = tiba, sampai
  • Saor = perkumpulan
  • Saut = jadi, terjadi
  • Sihol = rindu
  • Sintong = benar, tepat
  • Tigor = lurus, jujur, adil, tulus, pantas, patut
  • Togap = kuat, kekar, tokoh.
  • Togar = tegar, segar, bugar, kuat
  • Togi = ajak, mengajak, mengerahkan, memimpin, menuntun
  • Tua = dihormati
  • Tumpak = santunan, sumbangan, bantuan, sokongan, pertolongan, tunjangan;
  • Tumpal = sejenis detar, mahkota, berhiaskan mutu manikan; manumpalhon: menabalkan, melantik, memahkotai
  • Tungko = 
  • Tupa = lurus, jujur, adil, tulus, pantas, patut

Nama Perempuan:
  • Dame = damai
  • Dosma = sama, serupa
  • Duma = makmur, sejahtera
  • Hasian = kekasih, tersayang
  • Hasiholan = yang dirindukan, kerinduan
  • Hotma = kuatlah, erat
  • Jojor = teratur
  • Lamtiar = semakin jernih
  • Lamtiur = semakin terang, cerah 
  • Lasma = 
  • Rodearma = semakin baik
  • Rodearni = semakin baik
  • Roha =  hati, jiwa
  • Roma = datanglah
  • Romauli = datanglah cantik
  • Rondang = 
  • Rugun =
  • Sondang = cahaya, sinar, terang
  • Tiar = terang, jernih
  • Tio = jernih
  • Tiur = terang, cerah, tanpa gangguan
  • Uli = cantik, elok

Simalungun:
  • Ondo = inilah
  • Riahdo = sepakat, seia sekata

Demikian, di atas beberapa nama-nama dalam bahasa Batak, apabila ada yang ingin dikoreksi atau ditambah, silahkan ya ...
trims

sumber:
http://www.mahasiswabatak.com/2013/01/daftar-nama-nama-khas-orang-batak.html
dan sumber lain
Read More...

Batak Tempo Dulu

Orang-orang Batak ternyata masih punya beberapa gambar foto kuno yang masih tersimpan abadi sampai hari ini. Hanya saja foto-foto ini sebenarnya bukan milik kita, tapi milik Kristen Feilberg atau Christen Schjellerup Feilberg (1839-1919), seorang fotografer Denmark yang dikenal untuk gambarnya dari tahun 1860-1890an, yang berpartisipasi dalam ekspedisi ke Sumatera, Singapur dan Penang.

Pada tahun 1867, ia memamerkan foto di Paris Pameran Dunia dan di sekitar tahun 1870 ia bergabung dengan sebuah ekspedisi ke tanah Batak Sumatera Timur dengan seorang penjelajah Belanda C. de Haan, dengan menghasilkan kesuksesan untuk 45 "photogrammes". Tapi walau foto-foto ini bukan milik kita, tetapi kita tetap bisa ikut menikmati hasil jepretan dari Namboru Kristen Feilberg.

Foto-foto lain, merupakan koleksi dari Museum Kertas Robert C. Williams di Atlanta, Georgia USA, Museum Tropis Amsterdam Belanda dan Museum Nasional Etnologi Leiden Belanda.


1870: Prajurit perang Batak dengan tombak dan golok di depan rumah adat
Juru foto: Kristen Feilberg (1839–1919). (sumber foto)

1870: Perkampungan Batak Karo di Deli, Langkat, Serdang.
Juru foto: Kristen Feilberg (1839–1919). (sumber foto)

1870: Perahu perang Suku Batak, di wilayah Danau Toba, Sumatera.
Juru foto: Kristen Feilberg (1839–1919).
(sumber foto)

1870: Perkampungan Batak Karo di tepian sungai di Tanah Karo, di Sibraija.
Juru foto: Kristen Feilberg (1839–1919).
(sumber foto)


Buku Batak di Museum Kertas Robert C. Williams di Atlanta, Georgia, USA,
tentang tatacara mencapai kesempurnaan melalui seekor ayam jantan.
(sumber foto, Wikipedia)


Sebelum 1929: Naskah Batak yang ditulis pada tabung (tembakau) dari bambu dengan tutup kayu,
koleksi Museum Tropis di Amsterdam, Belanda.
(sumber foto, Wikipedia)


Bambu dengan tulisan aksara Batak Simalungun,
koleksi Museum Nasional Etnologi di Leiden, Belanda.
(sumber foto, Wikipedia)


Buku Batak dari daun kelapa,
koleksi Museum Tropis di Amsterdam, Belanda.
(sumber foto, Wikipedia)


Sebelum 1942: Buku berisi ramuan, resep dan aturan yang dilaksanakan oleh datu atau guru,
koleksi Museum Tropis di Amsterdam, Belanda.
(sumber foto, Wikipedia)


Pustaha, semacam Buku Sihir, suku Batak Toba, Sumatera Utara, Indonesia.
Tersimpan di Museum Nasional Etnologi, Leiden, Belanda.
(sumber foto, Wikipedia)


sumber:
Read More...

Suku Batak Karo

Suku Batak Karo, merupakan salah satu etnik Batak yang bermukim di dataran tinggi Bukit Barisan yang terkonsentrasi di kabupaten Tanah Karo provinsi Sumatra Utara. Suku Karo memiliki populasi yang besar, tercatat populasi masyarakat suku Batak Karo adalah yang kedua terbesar di Sumatra Utara setelah suku Batak Toba. Populasi Batak Karo saat ini sekitar 4.000.000 orang.

Suku Batak Karo berbicara dalam bahasa Karo, yang dikenal sebagai Cakap Karo. Bahasa Karo ini termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia, yang berkerabat dengan bahasa Batak Pakpak, Gayo, Alas dan Singkil. Bahasa Karo memiliki dialek yang berirama dengan intonasi yang menarik, agak berbeda dengan intonasi dan dialek etnik batak lainnya.

Asal usul suku Karo menurut beberapa bahasan dan penelitian yang dilakukan para pakar sejarah, pada dasarnya suku Karo memiliki perjalanan sejarah yang lama sejak sebelum Masehi. Suku Batak Karo dengan etnik batak lainnya adalah penghuni pertama pulau Sumatra, yang pada awalnya kemungkinan merupakan suatu komunitas yang datang dari daratan Indochina, yang akhirnya tersebar menjadi komunitas sendiri-sendiri di seluruh wilayah Sumatra. Dari suatu penelitian dalam budaya suku Karo terdapat budaya Dongson, yang merupakan budaya purba yang berawal dari dari daratan Vietnam sekitar 5000 tahun yang lalu. Tidak diketahui secara pasti apakah suku Batak Karo merupakan keturunan suku Dongson. Budaya Dongson sendiri tersebar dan diusung pada seluruh etnik Batak di Sumatra.
Sedangkan menurut penelitian sebelumnya, dikatakan suku Karo merupakan pembauran antara beberapa suku pendatang dengan penduduk asli di wilayah suku Karo pada masa lalu.
Menurut versi lain, bahwa suku Karo berasal dari suatu Kerajaan Tua yang bernama Kerajaan Haru. Dari keturunan Kerajaan Haru inilah terbentuknya masyarakat suku Karo. Setelah eksisnya suku Karo di wilayah ini, maka berdatanganlah segala bangsa dari segala penjuru, termasuk dari India, Arab, China, dan juga dari suku-suku Batak lain yang berbaur dan masuk dalam adat-istiadat suku Karo. Oleh karena itulah pada masyarakat suku Karo, terdapat bermacam-macam ciri-ciri fisik yang berbeda, dari kulit kuning, kulit coklat, hingga kulit gelap kehitaman. Tetapi kalau dicermati sedikit ke dalam, dari bentuk kain di atas kepala para perempuan suku Karo, mirip dengan kain kepala salah satu suku di Thailand.

rumah adat
Wilayah adat Taneh Karo sendiri sebenarnya sangat luas, tidak terbatas pada kabupaten Tanah Karo saja, melainkan mulai dari kabupaten Tanah Karo, kabupaten Deli serdang, kabupaten Langkat, sebagian kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat hingga sampai ke wilayah kabupaten Aceh Tenggara. Daerah-daerah ini lah yang banyak didiami masyarakat suku Karo dan sekelompok suku Karo yang telah berbaur dengan adat Melayu yang bermukim di pesisir sebelah Timur pantai Sumatra.

Suku Karo terdiri dari beberapa sub-kelompok, yaitu:
  • Karo Gugung (Gunung) yang mendiami daerah dataran tinggi Bukit Barisan
  • Karo Jahe yang mendiami daerah dataran rendah seperti di daerah Langkat dan Deli Serdang
  • Karo Baluren
  • Karo Melayu Pesisir Timur yang bermukim di pesisir Timur pulau Sumatra

Suku Karo ini memiliki dialek yang berbeda dengan suku-suku batak lainnya. Dialek dalam bahasa Karo memiliki irama yang naik turun serta melantun seperti orang yang sedang bersenandung, sehingga terdengar lebih lembut. Berbeda dengan dialek suku-suku Batak yang lain, yang cenderung agak keras. 

Pada masa dahulu di Sumatra Utara pernah berdiri suatu Kerajaan yang besar di wilayah Sumatra Utara, yang rajanya berasal dari suku Karo, kerajaan tersebut bernama Kerajaan Haru. Menurut Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Diperkirakan Pa Lagan ini berasal dari suku Karo.
Kerajaan Haru ini bertahan sampai abad 12, dan pada masa jayanya pernah berperang dengan Kerajaan dari Malaka, Kerajaan dari Aceh bahkan menaklukkan pasukan Majapahit yang mencoba menginvasi wilayah Sumatra Timur. Akibat dari takluknya pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada ini lah yang membuat Gajah Mada bersumpah dalam sumpahnya yang ingin menaklukkan Kerajaan Haru dan sekitarnya serta menaklukkan seluruh Nusantara, tetapi sumpah tersebut tidak terlaksana.

Di Aceh Besar provinsi Aceh, terdapat suatu kelompok masyarakat yang konon adalah keturunan dari Kerajaan Haru, yang dalam bahasa Acehnya disebut suku Karee. Menurut H. Muhammad Said, dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981), menceritakan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara (1961), mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar terdapat kerajaan Islam dan terdapat pula suatu Kerajaan Karo. Selanjutnya disebutkan bahwa penduduk asli di wilayah ini melakukan kawin-campur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir Kerajaan Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok masyarakat Karo di Aceh kemudian berubah sebutan menjadi Kaum Lhee Reutoih atau Kaum 300. Penamaan demikian berawal dari peristiwa perselisihan antara masyarakat Karo dengan suku Hindu Tamil di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang. Sebanyak 300 orang suku Karo akan berkelahi dengan 400 orang suku Hindu Tamil di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo di wilayah tersebut disebut sebagai kaum 300. Setelah sekian lama hidup di wilayah Aceh Besar ini , banyak terjadi kawin-campur antara suku Karo Kaum 300 dengan suku Hindu Tamil, dan dari hasil pembauran kawin-campur ini terbentuklah suatu kaum baru yang disebut sebagai kaum Ja Sandang. Di wilayah ini hidup juga beberapa suku lain seperti kaum Imeum Peuet dan kaum Tok Batee.
Dalam adat-istiadat suku Karo yang tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo adalah adat Rakut Sitelu atau Daliken Sitelu, yang berarti Ikatan Yang Tiga. Rakut Sitelu berarti adalah Sangkep Nggeluh atau Kelengkapan Hidup bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah sistem sosial adat dalam masyarakat Karo terdiri dari tiga unsur, yaitu:
  • Kalimbubu (Kalimbubu, bermakna sebagai keluarga pemberi isteri)
  • Anak Beru (anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri)
  • Senina (senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti)
Selain ke tiga unsur sosial adat di atas, terdapat satu lagi konsep kekerabatan pada masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan yang disebut sebagai Tutur Siwaluh.

Tutur Siwaluh ini terdiri dari 8 golongan.
  • puang kalimbubu
  • kalimbubu
  • senina
  • sembuyak
  • senina sipemeren
  • senina sepengalon/sedalanen
  • anak beru
  • anak beru menteri
Pada masyarakat suku Karo juga terdapat aksara Karo, yang pada masa sekarang ini sudah tidak digunakan lagi pada masyarakat Karo. Aksara Karo ini adalah suatu Aksara Kuno yang walau tidak digunakan lagi, tapi masih terpelihara baik pada masyarakat suku Karo.

Suku Karo terkenal dengan keahliannya dalam bercocok tanam. Daerah Tanah Karo sendiri terkenal menjadi pemasok bahan sayur-sayuran dan buah-buahan hampir ke seluruh wilayah Sumatra Utara hingga ke daerah Aceh. Selain itu di Tanah Karo juga banyak terdapat kebun kopi Arabica, milik rakyat yang terus berkembang. Masyarakat suku Karo pada umumnya hidup sebagai petani, terutama pada sayur-sayuran dan buah-buahan.

sumber:
Read More...

Salam Khas etnik Batak

Masyarakat Batak sebagaimana diketahui memiliki ungkapan salam yang khas. Beberapa etnik Batak dari seluruh etnik Batak yang tersebar dari wilayah Aceh sampai Sumatra Barat dan Riau, memiliki ungkapan salam yang berbeda sesuai dengan khas masing-masing etnik.

Saat ini, bagi masyarakat di Indonesia ungkapan salam yang paling dikenal adalah salam "Horas". Tapi sebenarnya ada beberapa ungkapan salam lainnya, yang juga terkenal, khususnya di wilayah Sumatra Utara.

Di bawah ini adalah beberapa ungkapan salam khas pada masyarakat Batak.
  1. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
  2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
  3. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
  4. Simalungun “Horas Banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
  5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

sumber:

Read More...

Marga Batak 27 (Batak Bebesen)

Suku Batak 27, atau disebut juga sebagai suku Batak Bebesen, adalah komunitas masyarakat yang bermukim di kecamatan Bebesen, di Takengon provinsi Nanggroe Aceh. Oleh masyarakat suku Gayo, mereka disebut suku Batak Bebesen atau sebagai suku Batak Gayo Bebesen.

Seperti umumnya etnik Batak yang memiliki marga, begitu juga masyarakat suku Batak 27 atau Batak Bebesen ini, tradisi marga tetap dipertahankan hingga saat ini.

Marga pada suku Batak 27 (Batak Bebesen) adalah:
  • Munthe
  • Cibero
  • Melala
  • Lingga
  • Tebe

Read More...

Suku Batak 27 (Batak Bebesen)

wilayah Bebesen (aceh.tribunnews.com)
Suku Batak 27, atau disebut juga sebagai suku Batak Bebesen, merupakan suatu komunitas masyarakat yang berasimilasi dengan adat istiadat suku Batak Gayo. Suku Batak 27 ini, konon dahulu berasal dari tanah Batak Utara yang bermigrasi ke wilayah Tanah Gayo. Komunitas suku Batak 27 bermukim di kecamatan Bebesen, di Takengon yang termasuk wilayah adat suku Gayo Lut. Karena mereka bermukim di wilayah Bebesen, oleh masyarakat suku Gayo, mereka disebut suku Batak Bebesen atau sebagai suku Batak Gayo Bebesen.

Dahulu banyak orang Batak dari tanah Utara datang ke Tanah Gayo dengan bermacam-macam cara, yang kini bermukim di sebelah barat Danau Laut Tawar, Pengasingan serta Celala, sekarang keturunannya tidak dapat dibedakan lagi dengan masyarakat suku Gayo Lut. Akan tetapi, ada satu kenangan yang masih melekat dalam benak orang Gayo, yaitu yang terjadi terhadap anak buah Reje Cik Bebesan dan Ketol. Seterusnya adalah pada keturunan salah seorang Reje yang terkemuka di Tanah Gayo yang mendiami bagian timur daerah aliran sungai Jemer yaitu, Reje Linge. Orang Gayo yang dimaksud ialah orang Gayo Bebesen yang berdiam di bagian barat Danau Laut Tawar yang kalau bertengkar dengan kampung tetangganya sering diejek Batak Bebesan atau Batak 27.

Dalam cerita rakyat tersebut dikisahkan tentang seorang yang bernama Lebe Keder, yang datang untuk menuntut bela kematian kawannya yang meninggal karena dibunuh dan hartanya dirampok. Ketika itu, sebanyak 20 orang Batak dari tanah utara, yang salah satunya bernama Lebe Keder, lewat Alas dan Tanah Gayo, berangkat menuju Aceh. Selain untuk ongkos dan belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi 7 teman mereka. Melihat pundi-pundi penuh dengan uang, timbul niat jahat dalam hati salah seorang raja Gayo, yaitu Reje Bukit, yang memerintah di bagian barat Danau Laut Tawar yang mengajaknya bermain judi.

Ternyata, pada waktu itu, Reje Bukit bernasib sial. Dia kalah dan mau tidak mau harus merelakan sebagian kekayaannya berpindah ke dalam pundi-pundi orang Batak Utara tadi. karena dihantui oleh perasaan marah, kesal, malu dan iri, Reje Bukit nekad memancung salah seorang di antara mereka, lalu menggantungkan kepalanya di atas sebatang pohon bambu tidak jauh dari Bebesen. Karena itulah tempat itu disebut Pegantungan sampai saat ini. Ke 19 orang-orang Batak Utara pun terkejut dan menghindar menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya, sekaligus bermaksud untuk mengadukan kezaliman Reje Gayo tersebut kepada raja Aceh. Sultan memberi mereka restu untuk memerangi Reje Gayo itu dan yakin bahwa mereka akan dapat mengalahkannya, tetapi Reje Bukit sendiri tidak boleh dibunuh.

Pada serangan balasannya, ke 26 orang dari Batak Utara ini mengalahkan pasukan Reje Bukit. Reje Bukit sendiri, dalam keadaan panik, melarikan diri dan tersesat ke dalam suatu paya (rawa-rawa) dekat kampung Kebayakan, sehingga tempat itu disebut Paya Reje sampai saat ini. Setelah itu dibuatlah perjanjian yang menyatakan bahwa Reje Bukit bersama anak buahnya ditunjuk untuk menempati kampung Kebayakan sekarang dan ke-26 orang Batak Utara tersebut, menempati wilayah yang sekarang menjadi kampung induk Raja Cik, yaitu kampung Bebesen. Di tempat ini mereka berkembang dan keturunannya disebut sebagai suku Batak Bebesen atau suku Batak 27.

Dalam masyarakat suku Batak 27 ini tradisi marga tetap dipertahankan hingga saat ini. Marga-marga tersebut adalah Munthe, Cibero, Melala, Lingga dan Tebe.

sumber:
  • protomalayans
  • rajabatak2.wordpress.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain
 foto:
  • aceh.tribunnews.com
Read More...

Suku Batak Samosir

suku Batak Samosir
Suku Batak Samosir, merupakan suku batak yang berdiam di kabupaten Samosir dan juga terdapat di sebagian kabupaten Toba Samosir yang berada di pulau Samosir dan sekitarnya.

Suku Batak Samosir seperti yang diketahui adalah merupakan satu kesatuan dalam suku Batak Toba. Tapi karena terjadi pemekaran wilayah atau tepatnya pemisahan wilayah dengan wilayah puak-puak suku Batak Toba lainnya, maka suku batak yang berdiam di wilayah kabupaten Samosir pun sekan-akan merupakan suatu etnis tersendiri di luar suku Batak Toba. Hal ini terjadi sejak pembagian distrik HKBP wilayah suku Batak Samosir terpisah dengan wilayah suku Batak Toba, walau pada dasarnya mereka adalah satu suku bangsa.

Dari sejarah budaya, adat-istiadat dan bahasa, suku Batak di kabupaten Samosir adalah serumpun dengan suku Batak Toba, maupun dengan Batak Humbang dan Silindung. Tapi walaupun terjadi pemekaran wilayah, mereka semua puak-puak suku Batak Toba, tetap mengaku diri mereka sebagai suku Batak Toba.

"huta" perkampungan Batak Samosir
Orang Batak Samosir berbicara dalam bahasa Batak Toba, yang merupakan bahasa yang digunakan oleh semua puak Batak Toba. Bahasa ini juga digunakan oleh puak Batak Toba lainnya, seperti Batak Humbang dan Batak Silindung, bahkan masih berkerabat dengan bahasa Batak Angkola dan Batak Mandailing. Perbedaan mungkin hanya pada perbedaan dialek dan intonasi yang sangat tipis.

Marga dalam suku Batak Samosir, adalah:
Gultom, Samosir Sidari, Harianja, Pakpahan, dan Sitinjak, merupakan contoh marga pada suku Batak Samosir.

Dalam kehidupan sehari-hari suku Batak di kabupaten Samosir hidup sebagai petani, terutama sayur-sayuran, dan juga sebagai nelayan di danau Toba, selain itu banyak yang telah sukses dalam perantauan menjadi pengusaha, pengacara atau menjadi pejabat penting di pemerintahan daerah maupun negara.

sumber:
sumber-foto:
Read More...

Suku Batak Silindung

suku Batak Silindung
Suku Batak Silindung, merupakan suatu kelompok suku salah satu puak suku Batak yang berdiam di sebagian besar kabupaten Tapanuli Utara, terkonsentrasi di Tarutung, Sipoholon, Pahae dan sekitarnya. Pemukiman suku Batak Silindung meliputi Huta Raja, Dolok Imun, Naipospos Tonga, Sipoholon, Pearaja, Huta Barat, Siatas Barita, Onan Hasang, Silangkitang, Pahae, Simangumban, Pangaribuan, Garoga, Sipahutar, Banua Rea, Janji Angkola, Tarutung dan sekitarnya. Kota Tarutung sebagai daerah basis utama suku Batak Silindung. Selain itu suku Batak Silindung juga terdapat di Sipoholon dan Pahae, sampai dekat perbatasan wilayah suku Batak Angkola. Populasi suku Batak Silindung pada sensus terakhir diperkirakan sebesar 1.500.000 orang.

Sebelum ada pembagian wilayah seperti sekarang ini, suku Batak Silindung sebelumnya dikenal sebagai satu kesatuan dalam suku Batak Toba, tetapi sekarang muncul usulan baru yang mengatakan bahwa suku Batak yang berdiam seperti yang disebut di atas, adalah suku Batak Silindung. Suku Batak Silindung dengan suku Batak Toba pada dasarnya adalah sama dan hampir tidak bisa dibedakan, karena kedua suku ini memang satu rumpun sejak awal mula hadirnya suku Batak. Selain dengan suku Batak Toba, suku Batak Silindung juga masih kerabat serumpun dengan suku Batak Humbang, Batak Samosir, juga dengan Batak Angkola dan Batak Mandailing.

tari Tortor
Wilayah suku Batak Silindung berada dalam wilayah yang berbeda dengan wilayah Batak Toba sejak zaman Kerajaan Batak hingga pembagian distrik pada HKBP. Sejak awal dari pembagian atau informasi-informasi tentang suku Batak sejak masa lalu, suku Batak Silindung selalu dibedakan dengan suku Batak Toba, seperti yang dipaparkan pada buku Jambar Hata karangan oleh marga Sihombing dan Pustaha Batak Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M. Hutagalung, bahwa suku Batak Silindung selalu dibedakan dengan suku Batak Toba.

Marga pada suku Batak Silindung adalah:
Naipospos yang mempunyai 5 (lima) orang putera dan menurunkan 7 (tujuh) marga, yaitu: Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol. Marga-marga tersebut merupakan contoh marga pada suku bangsa Batak Silindung.

Dikatakan terpisah dengan suku Batak Toba, hanya karena perbedaan letak geografi wilayah pemukiman. Secara bahasa, hampir tidak ada perbedaan antara bahasa Batak Silindung dengan Batak Toba, hanya saja terdapat perbedaan dialek yang sangat tipis.

rumah adat
Wilayah adat suku Batak Silindung berada di kabupaten Tapanuli Utara beribukota di Tarutung. Namun di kabupaten Tapanuli Utara tidak sepenuhnya dihuni oleh masyarakat suku Batak Silindung, karena di wilayah ini juga menjadi pemukiman masyarakat suku Batak Humbang yang wilayahnya meliputi Sitabotabo, Butar, Parmonangan, Bahal Batu, Muara dan Siborongborong.

Suku Batak Silindung secara mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, ada sebagian kecil yang masih mempertahankan agama adat seperti Malim dan Pelbegu (suatu agama kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme), dan juga beberapa memeluk Islam, akibat terjadi perkawinan dengan suku-suku lain.

Masyarakat suku Batak Silindung sebagian besar hidup sebagai petani, seperti bertani padi di sawah maupun di ladang. Profesi lain seperti pedagang atau pengusaha dan bekerja pada sektor pemerintahan, guru dan lain-lain.

sumber:
  • protomalayans
  • sirajabatak.com
  • tobatabo.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain
sumber-foto:
  • silindungdream.blogspot.com
  • wikipedia
Read More...

Suku Batak Humbang

suku Batak Humbang
Suku Batak Humbang, adalah salah satu puak Batak yang berdiam di kabupaten Humbang Hasundutan dan juga di kabupaten Tapanuli Utara yang berada di Siborongborong, Dolok Sanggul, Lintongnihuta dan sekitarnya. Populasi suku Batak Humbang diperkirakan sebesar 1.500.000 orang.

Suku Batak Humbang, sebelumnya merupakan bagian dari suku Batak Toba. Hanya saja karena terjadi pembagian wilayah, menyebabkan seakan-akan suku Batak Humbang adalah komunitas yang berbeda dengan suku Batak Toba. Antara suku Batak Humbang dengan suku Batak Toba secara adat-istiadat dan budaya serta bahasa memang hampir tidak bisa dibedakan. Perbedaan hanya karena perbedaan nama wilayah, dan kemungkinan terdapat perbedaan dialek yang sangat tipis.

rumah adat
Secara sejarah masa lalu, suku Batak Humbang merupakan satu kesatuan dengan suku Batak Toba. Tidak diketahui dengan pasti, mengapa sekarang ada istilah suku Batak Toba, Batak Humbang, Batak Silindung dan Batak Samosir, yang memang sebelumnya seluruh puak lebih dikenal dengan sebutan suku Batak Toba.

Marga pada suku Batak Humbang, adalah:
Sihombing yang mempunyai 4 orang putera dan marga, yaitu:
Silaban, Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit.

Mayoritas suku Batak Humbang memeluk agama Kristen, hanya sebagian kecil saja yang masih mempertahankan agama tradisional seperti Malim dan Pelbegu. Beberapa orang yang memeluk agama Islam terjadi akibat perkawinan dengan suku-suku lain.

"huta" perkampungan Batak Humbang
Masyarakat suku Batak Humbang sebagian besar hidup sebagai petani, seperti bertani di sawah dan ladang. Saat ini telah banyak kemajuan yang dicapai oleh suku Batak Humbang ini, karena banyak dari masyarakat suku Batak Humbang yang sukses di perantauan. Sedangkan yang menetap di wilayah Humbang, juga banyak yang bekerja di sektor pemerintahan maupun swasta.

sumber:
  • protomalayans
  • sirajabatak.com
  • tobatabo.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain
sumber-foto:
  • explow.com
Read More...

Suku Lubu

Suku Lubu, merupakan suku asli yang hidup di daerah pebatasan Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Suku Lubu terutama mendiami daerah pegunungan dari berbagai wilayah tanah Batak selatan. Populasi suku Lubu saat ini diperkirakan lebih dari 45.000 orang.

seorang anak Lubu (prayway,com)
Pada masa dahulu, suku Lubu hidup secara nomaden menjelajah di pedalaman hutan Sumatra. Saat ini, masyarakat suku Lubu secara budaya, tradisi dan kebiasan hidup telah berasimilasi dengan suku Batak yang hidup di sekitar pemukiman-pemukiman suku Lubu.

Suku Lubu telah mendiami wilayah ini ribuan tahun sebelum hadirnya orang-orang Batak di wilayah ini. Secara ras, suku Lubu ini pada termasuk ke dalam ras Weddoid, memiliki kulit agak gelap, rambut keriting dan bertubuh kekar, yang berbeda dengan etnis batak yang memiliki ras mongoloid. Tetapi setelah ribuan tahun terjadi pembauran dengan suku batak setempat dan kemungkinan juga dengan suku melayu. Walaupun begitu mereka tetap mengakui diri mereka sebagai suku Lubu, tetapi budaya dan adat-istiadat mereka banyak menyerap budaya dan adat-istiadat suku Batak. Diperkirakan suku Lubu ini masih berkerabat dengan suku Kubu, karena secara fisik antara suku Lubu dan suku Kubu tidak jauh berbeda.

Bahasa yang digunakan suku Lubu adalah bahasa Lubu. Bahasa Lubu ini banyak menyerap perbendaharaan kata bahasa Batak Mandailing dan bahasa Batak Padang Lawas, oleh karena itu bahasa Lubu ini kadang dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Batak Mandailing. Walaupun bersumber dari bahasa yang berbeda, tetapi setelah mengalami proses selama berabad-abad, antara bahasa Lubu dan bahasa Mandailing, terjadi pembauran, sehingga bahasa Lubu yang sekarang hampir mendekati dan mirip dengan bahasa Batak Mandailing dan bahasa Batak Padang Lawas.

Suku Lubu ini kadang disamakan dengan suku Siladang. Menurut beberapa tulisan, mengatakan bahwa Suku Lubu masih terdapat ikatan kekerabatan masa lalu dengan suku Siladang. Tetapi menurut orang Siladang mereka berbeda dengan orang Lubu.

Sampai awal abad 19, suku Lubu masih berkeliaran di pegunungan dalam keadaan liar, yang hidup terutama di rumah-rumah pohon. Mereka menembak dengan senjata pemukul dan panah beracun. Pakaian mereka sederhana, mereka makan semua jenis daging, dan mereka dimasak dalam bambu berongga.
Kehidupan orang Lubu telah mengalami kemajuan besar. Suku Lubu masih hidup dengan gaya hidup dasar mereka. Seperti orang Kubu di Jambi dan Sumatra Selatan, mereka agak takut air dan jarang mencuci, meskipun kebanyakan pemukiman mereka berdekatan dengan sungai. Pada masa dahulu, masyarakat Batak di sekeliling mereka sering mencurigai mereka banyak ambil bagian dalam jenis sihir.


Saat ini seiring dengan kemajuan zaman, orang Lubu tidak lagi hidup di atas pohon. Mereka sekarang tinggal di gubuk yang dibangun di atas tanah. Sekelompok rumah membentuk sebuah bandja (desa), dan sejumlah desa membentuk sebuah kuria (distrik). Kepala dari bandja disebut na bodjo bodjo. Semua anggota laki-laki yang lebih tua dari masyarakat (kepala keluarga) memiliki suara dalam pemerintahan desa. Ketika sang kepala meninggal, ia digantikan oleh putranya.
Di setiap desa Lubu ada rumah-rumah komunal khusus (tawatak) untuk anak laki-laki dan lain-lain untuk anak perempuan. Setelah usia 12 tahun, kedua jenis kelamin diharapkan untuk tidur di rumah-rumah komunal. Pernikahan biasanya terjadi ketika anak-anak berbalik lima belas. Sebuah mahar kecil diperlukan, tetapi orang Lubu kebanyakan tidak memiliki kemampuan untuk membayar. Akibatnya, sebagian besar dari mereka harus bekerja selama 2 tahun untuk masa depan orang tua mertua mereka selama masa pertunangan.

Kesenian suku Lubu, seperti alat musik dan lagu-lagu, banyak mengadopsi dari budaya dan tradisi suku Batak. Orang Lubu sering menulis lagu tentang budaya mereka, dan ini dinyanyikan di sekitar api di malam hari. Hal lain yang menarik, adalah suku Lubu tidak memiliki tarian.


Secara tradisional, walaupun suku Lubu sebenarnya memiliki ras yang berbeda dengan suku Batak yang hidup sekitar pemukiman suku Lubu, tapi secara adat, suku Lubu telah menjadi bagian dari rumpun Batak. Karena secara sejarah, suku Lubu memiliki sejarah panjang hidup bersama-sama bahu membahu dengan komunitas Batak. Sehingga antara suku Lubu dan suku Batak bagaikan saudara angkat yang hidup berdampingan dalam satu wilayah.

Masyarakat suku Lubu secara mayoritas masih memeluk agama tradisional mereka. Mereka meyakini akan adanya roh baik dan roh jahat yang sangat dihormati, terutama semangat kepala suku pertama, Singa Tandang. Berbagai penyakit adalah merupakan pekerjaan roh-roh jahat, terutama hantu yang bisa mempengaruhi dari luar maupun dalam diri seseorang. Banyak ritual tradisional dilakukan pada saat kelahiran dan pubertas. Salah satu tradisi adat mereka adalah menghitamkan gigi anak perempuan mereka sebelum menikah. Hal ini ditemukan dalam tradisi masyarakat suku Batak Kluet.

Orang Lubu bertahan hidup dengan menanam padi sebagai tanaman pokok mereka. Namun, secara keseluruhan, mereka tampaknya tidak pilih-pilih dalam memilih makanan. Mereka akan menyantap apa saja, seperti tikus, kelelawar, monyet dan lain-lain yang dibunuh dengan senjata tradisional suku Lubu.
 

sumber:
prayway
protomalayans
Read More...

Suku Batak Dairi

pakaian adat
suku Batak Dairi
Suku Batak Dairi, adalah suatu kelompok masyarakat suku yang bertempat di kabupaten Dairi. Di wilayah kabupaten Dairi sendiri, masyarakat suku Batak Dairi hidup berdampingan dengan kerabat dekatnya, yaitu suku Batak Pakpak. Antara suku Batak Dairi dengan suku Batak Pakpak hampir tidak bisa dibedakan, karena dari segi budaya, bahasa dan tradisi seluruhnya adalah sama, kecuali dari dialek dan perbedaan marga yang digunakan oleh kedua etnik ini.

Menurut pendapat masyarakat suku Batak Pakpak, bahwa suku Batak Dairi adalah merupakan bagian dari 5 (lima) sub suku Batak Pakpak, yaitu: Pegagan, Keppas, Simsim, Klasen dan Boang. Tapi hal ini tidak diterima oleh orang Dairi nya sendiri, karena menurut orang Dairi yang disebut suku Pakpak itu adalah hanya puak Pegagan, puak Keppas dan puak Simsim, sedangkan puak Klasen dan puak Boang adalah merupakan kelompok suku Batak Dairi.

Pembagian puak menurut suku Dairi, adalah:
  1. Suku Dairi Klasen
  2. Suku Dairi Boang, kadang disamakan dengan suku Julu yang berada di Singkil
  3. Satu komunitas lagi menempati daerah Boang yang menyebut dirinya suku Kahia, atau suku Dairi Kahia, kadang disebut juga sebagai suku Pakpak-Kahia. Mereka mengatakan dulunya mereka memang berasal dari wilayah Pakpak-Dairi sekarang, tetapi mereka berbeda dengan suku Pakpak.
Tetapi, walaupun menurut mereka bahwa suku Dairi dan suku Pakpak saling berbeda, tetapi dari segi adat istiadat serta bahasa yang digunakan oleh kedua etnik ini adalah sama. Perbedaan terlihat dari dialek dan marga yang digunakan.

sumber:
Read More...

Suku Toba di Mongolia

Sekitar 12.000 - 7.000 tahun yang lalu di stepa Asia Tengah, sejumlah suku nomad termasuk Mongol, Turki, dan Manj-Tungus telah hidup berkembang. Menurut sejarah Mongolia, suku-suku tersebut memiliki latar belakang budaya dan biologis yang sama. Kemudian, Mongol kuno bercabang ke suku Sianbi (Xianbei), Mujun dan Toba dan kemudian ke suku Joajan, Uygur dan Khitan.

orang Toba ahli berkuda
Dari salah satu cabang dari Mongol kuno, hadir suku Toba. Suku Toba sendiri dianggap sebagai sub-kelompok Xianbei. Suku Toba adalah salah satu suku yang pernah hidup di Mongol yang memiliki karakter paling keras, keras kepala dan cenderung suka menentang terhadap suatu kekuasaan yang lebih besar dari mereka. Orang Toba adalah orang-orang yang ahli berkuda.
Suku Toba berkembang dari suatu komunitas suku yang kecil menjadi suatu kekuatan besar hingga mendirikan sebuah Kekaisaran Toba yang dipimpin oleh Wei.
Pada pertengahan abad 3 M, Federasi suku Toba terbentuk. Pada tahun 261 M, Kekaisaran Toba mendirikan ibukotanya Chinton kota di North East kota Bugat di Mongolia hingga saat ini. Federasi Toba menjadi Negara pada tahun 313M dan 386M, dan mereka bertambah kuat untuk berperang melawan kekuasaan Yan.

Pada tahun 397M, Kekaisaran Toba menjadi Kaisar Jin. Selama dominasi Kekaisaran Toba Wei, hidup orang Mongol dan Cina menjadi semakin sulit. Dia meletakkan pungutan berat, orang bekerja lebih keras, dipaksa untuk melayani tentara, orang Mongol dilarang untuk berbicara dalam bahasa mereka dan memakai pakaian mereka di antara Cina.
Pada akhir abad 4, daerah antara Chang Jiang dan Gobi, dan termasuk dari Xinjiang modern, didominasi oleh orang Toba. Orang Toba mendirikan kontrol atas wilayah sebagai Dinasti Wei Utara (386-533 AD).

Pada tahun 581M, pasukan maha besar China datang, menyerang dan mengambil alih tahta Kekaisaran Toba, sehingga Kekaisaran Toba kehilangan kekuasaannya. Suku adat Toba tergantikan oleh orang-orang dari Cina, sebuah evolusi yang tidak diterima oleh semua orang Toba yang akhirnya hilang dalam sejarah China.

Dari nama identitas suku Toba di Mongolia, apakah ada keterkaitan dengan orang Toba di Sumatra Utara, Indonesia, atau cuma suatu kebetulan kesamaan nama saja?

sumber:

  • shsu.edu
  • happycamel.com
  • mongolia-canada.com
Read More...

Orang Batak Berasal dari Manchuria?

Setelah banyak ulasan tentang asal usul orang Batak yang diduga berasal dari berbagai daerah di dunia ini. Kini ada satu lagi usulan baru yang dilakukan oleh Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak, yang melakukan penelitian dan mengumpulkan sejumlah fakta untuk menyatakan bahwa orang Batak berawal dari bangsa Manchuria, tepatnya dari daerah Mongol.

Mari kita lihat ulasannya.

Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalahnya berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Modern” dalam seminar yang digagas DPP Kesatuan Bangso Batak Sedunia (Unity Of Bataknese In The World) di Medan beberapa waktu lalu, dengan menghadirkan Dr Thalib Akbar Selian MSc (Lektor Kepala/Research Majelis Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara), Drs S Is Sihotang MM (mantan Bupati Dairi), dan Nelson Lumban Tobing (Batakolog asal Universitas Sumatera Utara).

Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak, mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bangsa Batak menurutnya berasal dari keturunan suku Manchuria dari ras Mongolia. Nenek moyang orang Batak berasal dari keturunan suku Manchuria yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Manchuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Dari peristiwa migrasi di pegunungan Tibet tersebut dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar. Suku Manchuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar.

Setelah dari pegunungan Tibet, suku Manchuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Manchuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini. Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Manchuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kamboja, dan ke Indocina. Dari Indocina, suku Manchuria berlayar menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Selatan, ke Tana Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Manchuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh. Dari Teluk Aru ini, suku Manchuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.

Penerus keturunan suku Manchuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan dari para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh. Fakta ini diketahuinya dan dibuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand. Pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang, yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Manchuria, dan Edmund Leach (Rithingking Anhtropology ) mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Manchuria dengan Suku Batak.

Dari kajian literatur itu, generasi penerus suku Manchuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi suku Manchuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun. Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak.

Dari sejumlah literature itu, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini. Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi. Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpilihara dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak.

sumber:
Read More...

Suku Boang

Suku Boang, adalah suatu komunitas masyarakat adat yang hidup dan bermukim di dekat aliran sungai sungai Simpang Kanan dan sungai Simpang Kiri yang secara teritorial berada dalam kabupaten Aceh Singkil dan kota Subulussalam Aceh.

Pada umumnya masyarakat lain di luar suku Boang, biasanya mengasosiasikan suku Boang sebagai sub-suku Pakpak atau kadang disebut sebagai suku Pakpak Boang. Menurut suku Pakpak, bahwa suku Boang merupakan salah satu dari 5 suak (puak) Pakpak. Berbeda dengan anggapan suku Klasen, bahwa suku Boang merupakan bagian dari suku Dairi, yang terdiri dari suku Klasen dan suku Boang. Sedangkan bagi masyarakat suku Singkil, bahwa suku Boang tidak lah ada, melainkan orang Boang adalah orang Singkil yang mengaku sebagai orang Boang.

Lain lagi menurut anggapan masyarakat Boang, sebagian dari mereka justru perebutan status kelompok antara suku Pakpak, Dairi dan Singkil, membuat mereka justru menyatakan bahwa suku Boang bukan bagian dari suku Pakpak, Dairi maupun Singkil. Anggapan yang ada pada orang Boang adalah karena mereka memiliki marga-marga sendiri yang berbeda dengan yang dimiliki oleh suak-suak Pakpak, Dairi apalagi dengan suku Singkil.
Tapi, kalau ditelusuri lebih dalam, antara orang Boang dengan orang Pakpak maupun Dairi, hampir tidak ada perbedaan yang berarti, karena memang secara sejarah, mereka semua berasal dari nenek moyang yang sama.

Marga-marga pada suku Boang:
  • Barat
  • Berampu
  • Kombih
  • Malayu
  • Padang
  • dan lain-lain

Dari banyak studi memperlihatkan bahwa perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, dan latar belakang kebudayaan yang telah mengalami proses dalam jangka waktu yang lama bisa merubah identitas kesukubangsaan bagi suatu kelompok masyarakat. Selain itu pertumbuhan kelompok yang pesat serta tekanan dari kelompok lain yang lebih dominan juga berpengaruh membuat suatu kelompok ingin membangun komunitas yang berbeda dengan yang lainnya.

Masyarakat suku Boang, hidup pada bidang pertanian, seperti berladang dan berkebun. Hal ini umum dijalani oleh masyarakat pegunungan pada umumnya. Perkembangan kehidupan masyarakat suku Boang, seiring waktu meningkat dengan pesat pada berbagai bidang profesi, seperti menjadi pedagang, pada sektor pemerintahan maupun swasta.

sumber:
Read More...

Suku Kahia

Suku Kahia, adalah suatu kelompok masyarakat yang terdapat di daerah Boang yang berada di wilayah Aceh Selatan, yang menyebut diri mereka sebagai suku Kahia, atau suku Dairi Kahia, kadang-kadang disebut juga sebagai suku Pakpak Kahia.


Dari cerita yang beredar di kalangan orang Kahia, menceritakan bahwa dahulu suku Kahia awalnya bermukim di Tanah Dairi, jauh sebelum orang Dairi dan orang Pakpak hadir di wilayah Dairi. Karena sifat nomaden bangsa Batak purba pada masa dahulu, sehingga mereka bergerak menuju tempat lain yang dianggap lebih baik, yaitu tempat yang sekarang disebut daerah Boang yang sekarang telah dihuni oleh suku Boang dan suku Singkil. Jadi, menurut mereka walaupun mereka dahulunya berasal dari wilayah Pakpak atau Dairi, tapi secara sejarah mereka bukanlah suku Pakpak.

Saat ini suku Kahia, sebagian besar membaur dengan etnis lain, seperti suku Batak Singkil dan dengan beberapa suak Pakpak seperti suku Klasen dan suku Boang.

Agak rumit juga tentang pengakuan status identitas bagi suku Kahia, karena orang Dairi sendiri beranggapan bahwa suku Kahia bukan etnis tersendiri, melainkan masih bagian dari sub-suku Dairi, dan merupakan bagian dari suku Boang.
Tapi pada dasarnya menurut orang Kahia, bahwa mereka merasa bukan lah merupakan bagian dari suku Pakpak maupun suku Dairi, apalagi sebagai sub-etnik dari suku Boang, Mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai suku Kahia, tapi sebagian dari mereka tidak menolak kalau disebut sebagai suku Dairi Kahia.

Masyarakat suku Kahia, seperti umumnya suku pegunungan lainnya, adalah hidup pada bidang pertanian, seperti berladang dan berkebun. Kebiasaan seperti berburu juga mereka jalani pada saat tidak ada kegiatan di ladang. Kehidupan orang Kahia juga telah melangkah lebih jauh pada berbagai bidang profesi, seperti menjadi pegawai negeri, swasta, pedagang dan lain-lain.

sumber: protomalayans, repository.usu, dan berbagai sumber lain

Read More...

Suku Simsim

Suku Simsim, adalah suatu kelompok masyarakat adat yang merupakan salah satu suak (puak/ sub-suku) dari suku Batak Pakpak yang terkonsentrasi di kecamatan Kerajaan dan Salak, berada di kabupaten Pakpak Bharat di provinsi Sumatra Utara.

Orang Simsim, menyebut diri mereka sebagai orang Simsim, tapi juga mengaku sebagai orang Pakpak, atau sebutan lain sebagai orang Batak Pakpak Simsim.

Secara adat-istiadat dan budaya, orang Simsim tidak lah berbeda dengan puak Pakpak lainnya, seperti puak Pegagan, Kepas, Klassen dan Boang. Bahasa yang diucapkan oleh suku Simsim adalah bahasa Pakpak. Tidak berbeda dengan bahasa puak Pakpak lainnya, hanya terdapat perbedaan dialek saja, yang membedakan suku Simsim ini dengan puak Pakpak lainnya.

Mayoritas suku Simsim ini memeluk agama Kristen, seperti yang dianut oleh masyarakat Pakpak pada umumnya. Sekelompok kecil tetap mempertahankan agama tradisional mereka, seperti ugama pelebegu.

Seperti etnis-etnis Batak pada umumnya, orang Simsim juga memiliki marga, yaitu Solin, Padang, Bancin, Banurea, Barasa (Brasa), Brutu, Manik Kecupak, Gajah, Kabeakan, Lembeng, Sitakar, Tinendung, dan Padang Batanghari. Terdapat beberapa kerumitan dalam marga-marga suku Pakpak, beberapa marga yang berasal dari puak Pakpak lain, kadang lebih merasa sebagai puak Simsim. Begitu juga beberapa marga pada puak Simsim, kadang merasa sebagai puak lainnya. Tetapi itu tidak menjadi masalah bagi mereka karena mereka merasa masih berada dalam lingkup Batak Pakpak juga. Selain itu ada juga beberapa marga yang memiliki keterkaitan dengan marga-marga dari Batak Toba, juga dengan marga dari Batak Karo bahkan dengan Batak Alas di wilayah Aceh.

Masyarakat suku Simsim ini, sebagian besar hidup pada bidang pertanian. Seperti kebanyakan masyarakat yang hidup di daerah dataran tinggi, yang rata-rata memiliki kegiatan sehari-hari sebagai petani. Beberapa memilih bercocok-tanam pada sayur-sayuran. Selain itu beberapa pada tanaman keras seperti kopi arabica.

sumber:
  • protomalayans: suku simsim
  • blog.ghobro.com
  • marganda-tanjung.blogspot.com
  • silahisabungan.idweblink.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain
Read More...

Suku Julu

Suku Julu, adalah suatu kelompok masyarakat adat yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan. Suku Julu ini sering disebut sebagai bagian dari suku Singkil, kadang disebut juga sebagai bagian dari kelompok suku Pakpak, selain itu mereka juga sering disamakan dengan suku Boang.

Dari penuturan beberapa masyarakat suku Boang, dahulu mereka memang berasal dari daerah Boang Pakpak, mereka telah lama tinggal di wilayah ini. Dari segi kepercayaan mereka adalah penganut agama Islam berbeda agama dengan suku Boang yang berada di wilayah kabupaten Pakpak Bharat adalah penganut agama Kristen. Mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai orang Julu atau suku Julu, dan beberapa dari mereka malah menyatakan mereka berbeda dengan suku Boang. Selain itu mereka juga tidak mau disebut sebagai bagian dari suku Singkil.
Secara budaya, suku Julu berbeda dengan suku Singkil, dan bahasa yang diusung oleh suku Julu, juga lebih berkerabat dengan bahasa Pakpak. Hal ini menunjukkan bahwa suku Julu, walaupun mereka menyatakan sebagai suku tersendiri, yang memiliki bahasa dan budaya sendiri, apabila ditelusuri lebih dalam kemungkinan mereka memang berasal dari rumpun yang sama dengan suku Pakpak.

Suku Julu saat ini sebagian besar memeluk agama Islam, akibat pengaruh dari budaya dan tradisi masyarakat di kabupaten Aceh Singkil yang pada umumnya beragama Islam. Tetapi adat dan budaya suku Julu sampai saat ini masih tetap dipertahankan, walaupun sedikit tidaknya agak terpengaruh oleh budaya Islam.

Suku Julu sebagian besar hidup sebagai petani di dataran tinggi, seperti bertanam sayur-sayuran, dan berbagai jenis tanaman lain.

sumber:
Read More...

Suku Klasen

Suku Klasen, adalah suatu komunitas masyarakat adat Batak yang bermukim di kabupaten Humbang Hasundutan provinsi Sumatra Utara.

Masyarakat suku Klasen hidup di antara suku Batak Toba Humbang yang menjadi mayoritas di kabupaten Humbang Hasundutan. Walaupun masyarakat suku Klasen hidup di tengah masyarakat suku Batak Toba Humbang yang yang menjadi mayoritas di wilayah ini, tapi tetap terjadi keharmonisan di antara mereka.
Suatu keunikan terjadi pada suku Klasen ini, adalah terjadinya klaim dari kedua etnik besar, yaitu antara suku Batak Pakpak dan suku Batak Dairi, yang menyatakan bahwa suku Klasen adalah bagian dari mereka masing-masing. Menurut orang Pakpak, bahwa suku Klasen ini adalah salah satu dari 5 suak (puak) suku Pakpak. Sedangkan menurut orang Dairi sendiri, bahwa suku Klasen ini adalah bagian dari suku Dairi. Menurut pendapat orang Klasen sendiri, mereka adalah bagian dari suku Dairi. Mereka lebih suka disebut sebagai orang Klasen, atau disebut sebagai orang Dairi Klasen.
Penduduk daerah Klasen pada dasarnya tidak mau disebut sebagai orang Pakpak, mereka menyebut diri mereka sebagai orang Dairi, karena mereka menganggap hanya Pegagan, Keppas, dan Simsim yang dinamai suku Pakpak. Menurut orang Klasen bahwa Dairi terdiri atas:
  • Dairi-Pakpak (Pegagan, Keppas, dan Simsim).
  • Dairi-Kelasan, Dairi Boang; 
Penduduk asli yang mendiami daerah Boang menyebut diri mereka sebagai orang Pakpak-Kahia, yang berarti mereka dahulu kala berasal dari daerah Pakpak. Tapi, walau terjadi perbedaan dalam penyebutan, pada dasarnya adat istiadat dan bahasa yang mereka gunakan pada umumnya sama.

Menurut orang Dairi, bahwa suku Klasen termasuk dari 3 sub suku Dairi, yaitu:
1. suku Klasen
2. suku Boang
3. suku Kahia

Sedangkan menurut orang Pakpak bahwa suku Klasen, termasuk dari 5 suak (puak) suku Pakpak, yaitu:
1. suku Pegagan
2. suku Simsim
3. suku Keppas
4. suku Klasen
5. suku Boang

Walaupun begitu sebenarnya, pendapat kedua etnis besar tersebut tidaklah salah, karena antara orang Pakpak dan orang Dairi, ibarat saudara kembar, hampir tidak ada perbedaan, dari segi budaya, adat-istiadat maupun bahasa, hanya berbeda letak geografis saja. Tinggal terserah si Klasen saja mau ikut kemana.

Suku Klasen, berbicara dalam bahasa Klasen, yang termasuk dialek dari bahasa Batak Pakpak-Dairi. Tetapi mereka rata-rata juga bisa berbicara dalam bahasa Batak Toba. Bahasa Klasen ini termasuk ke dalam bahasa Rumpun Utara, bersama dengan bahasa Gayo, Alas, Singkil, Kluet dan Karo.

Budaya dan adat-istiadat suku Klasen ini hampir tidak ada perbedaan dengan yang diusung oleh puak-puak Pakpak-Dairi lainnya. Karena secara sejarah asal usul, mungkin mereka semua berakar dari satu sumber rumpun nenek moyang yang sama. Hanya saja beberapa kebudayaan mereka agak terpengaruh oleh budaya Batak Toba, karena wilayah pemukiman mereka berada di antara budaya suku Batak Toba.

Orang Klasen mayoritas pemeluk agama Kristen, ditandai dengan banyaknya terdapat gereja di wilayah pemukiman mereka. Walaupun begitu, di antara mereka masih ada yang tetap mempertahankan agama tradisional mereka seperti ugama sipelebegu, yaitu semacam aliran kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme.
Suku Klasen ini sebagian besar hidup pada bidang pertanian, seperti bersawah, berladang dan bercocok tanam berbagai jenis sayuran, serta beberapa tanaman keras seperti kopi Arabica. Kegiatan lain jika tidak ada kegiatan di ladang atau kebun adalah berburu yang merupakan kebiasaan mereka sejak dahulu.

diolah dari
Read More...

Suku Pegagan

Suku Pegagan, merupakan suatu kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai salah satu suak (puak/sub-suku) dari suku Pakpak, yang bermukim di kabupaten Dairi, yang meliputi daerah Balna Sibabeng-kabeng, Lae Rias, Lae Pondom, dan juga tersebar sampai daerah Sumbul, Juma Rambah, Kuta Manik, Kuta Usang dan sekitarnya.

Dalam masyarakat suku Pegagan terdapat tiga 3 marga utama, yaitu (Raja) Matanari, (Raja) Manik dan (Raja) Lingga. Ketiga marga ini adalah marga-marga yang terkenal di kalangan masyarakat suku Pegagan ini. Ketiga marga ini adalah keturunan dari si Raja Api atau disebut juga sebagai si Raja Gagan. Si Raja Api ini adalah salah seorang dari 7 (Pitu) Guru Pakpak Sindalanen (yakni keturunan Perbuahaji), yang sangat terkenal karena ilmu kebatinannya (sangat disegani, ditakuti dan tempat belajar atau berguru ilmu kebatinan). Legenda tentang si Raja Api ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Pakpak, bahkan hingga ke masyarakat Batak Karo dan Gayo.

Pada masa dahulu suku Pegagan yang berasal dari keturunan si Raja Api ini adalah masyarakat yang hidup secara nomaden, hidup menjelajah hutan dataran tinggi Bukit Barisan, mencari makanan yang tersedia di alam, memanen hasil hutan dan berburu binatang, menangkap ikan dan tinggal berpindah-pindah. Diduga pemukiman mereka pertama kali berada di sekitar hutan Lae Rias dan Lae Pondom. Di tempat ini lah mereka mendirikan pemukiman perkampungan pertama mereka.

Ada beberapa versi tentang asal usul suku Pegagan
  • Salah satunya mengatakan bahwa mereka adalah para imigran dari India, yang masuk dari sekitar Barus, merasa tidak aman di Barus, mereka memilih untuk masuk lebih ke pedalaman, yang menjadi masyarakat nomaden. Diduga di wilayah yang mereka masuki ini telah ada penduduk yang juga bermukim di pedalaman. Dengan masyarakat inilah mereka terjadi pembauran kawin-campur, sehingga terbentuklah masyarakat yang menamakan dirinya sebagai suku Pegagan. 
  • Versi lain, mengatakan bahwa sejak awal mereka adalah satu kesatuan dalam suku Pakpak, beserta puak-puak Pakpak lainnya, tetapi karena pada masa dahulu daerah ini sering terjadi konflik di antara mereka sendiri, serta banyak mendapat tekanan dari kekuatan lain dari kerajaan-kerajaan dari wilayah lain yang ingin menginvasi daerah ini, maka terjadilah penyebaran-penyebaran ke daerah-daerah lain yang dianggap lebih aman. Dalam penyebaran-penyebaran inilah salah satu kelompok bergerak ke daerah Dairi sekarang, dan membentuk satu kelompok yang sedikit berbeda, dan menamakan diri mereka sebagai suku Pegagan.
  • Versi lain, mengatakan suku Pegagan ini dahulunya adalah para prajurit dari pasukan Kerajaan Chola yang berasal India, yang sebelumnya menyerang dan menghancurkan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan. Keturunan dari prajurit Kerajaan Chola ini banyak yang tinggal dan bermukim di wilayah Sumatra Selatan, dimana di sana mereka memakai identitas suku sebagai suku Pegagan. Dari Sumatra Selatan pasukan Kerajaan Chola ini bergerak ke arah dataran tinggi Bukit Barisan tepatnya di wilayah Pakpak dan Dairi sekarang. Di tempat ini banyak juga keturunan mereka yang tinggal menetap dan mendirikan perkampungan serta melakukan perkawinan campur dengan penduduk setempat, dari hasil keturunan ini mereka menyebut diri mereka sebagai suku Pegagan. Apakah ada hubungan suku Pegagan yang di Sumatra Selatan dengan suku Pegagan yang di kabupaten Dairi ini ? Kalau dilihat dari beberapa perbendaharaan kata, terdapat juga beberapa kata yang mirip antara bahasa kedua suku bernama sama ini. Mungkin saja ada hubungan kekerabatan antara kedua suku ini, tetapi karena karena sudah terpisah oleh jarak ratusan hari berjalan kaki, serta dalam jangka waktu ribuan tahun, tentu segala sesuatu akan menjadi berubah dan membuat mereka jadi berbeda.
Sesuai perkembangan zaman dan kebudayaan, keturunan Pakpak Pegagan tersebut di atas mengalami perubahan dari budaya nomaden menjadi petani berpindah..Karena mereka sering berpindah-pindah sambil membuka lahan pertanian baru dan sekaligus mendirikan pemukiman-pemukiman baru, maka keturunan mereka juga banyak tersebar di beberapa daerah seperti di Balna Sikabeng-kabeng, Kuta Gugung, Kuta Manik, Kuta Raja, Kuta Singa, Kuta Posong, Sumbul Pegagan, Batangari (Batanghari), Juma Rambah, Simanduma, sampai daerah Tigalingga.

Masyarakat suku Pegagan ini secara mayoritas adalah pemeluk agama Kristen (Katolik dan Protestan), sebagian kecil ada juga yang memeluk agama Islam, selain itu sekelompok kecil masih mempertahankan agama tradisional lama mereka yang mengandung unsur animisme. Walaupun suku Pakpak Pegagan ini secara mayoritas telah memeluk agama-agama besar seperti Kristen dan Islam, tetapi masih banyak dari mereka yang masih mempraktekkan ilmu kebatinan, mistik dan praktek perdukunan. Beberapa pelayanan rohani giat bekerja di tanah Pegagan ini, yang dengan giat mengajak mereka untuk meninggalkan berbagai praktek mistik dan perdukunan di wilayah tersebut. 

Saat ini masyarakat suku Pegagan telah hidup menetap, meninggalkan kebiasaan nomadennya, dan juga telah membuka beberapa lahan pertanian menetap. Mayoritas masyarakat suku Pegagan hidup berprofesi sebagi petani sawah dan ladang, dan juga bercocok tanam berbagai tanaman, seperti sayur-sayuran serta beberapa tanaman keras seperti jeruk dan kopi arabica, yang telah berkembang di daerah Pegagan. Sedangkan yang lain memilih untuk memelihara hewan ternak, seperti ayam, bebek dan sapi. Bahkan beberapa mendatangkan sapi bali, karena menurut mereka sapi bali ini bisa menghasilkan daging lebih banyak dari sapi biasa.

sumber:
  • protomalayans: suku pegagan
  • sopopanisioan.blogspot.com
  • rheein.wordpress.com
  • kanpegagannai.blogspot.com
Read More...